Senin, 26 Mei 2014

pemerolehan bahasa di kelas



MENUMBUHKAN PEMEROLEHAN BAHASA DI DALAM KELAS


A.  PENDAHULUAN
            Di dalam dunia pendidikan, pembelajaran bahasa seharusnya mengajarkan kompetensi yang semestinya lebih dari sekadar kemampuan berkomunikasi. Akan tetapi, pembelajaran kemampuan berbahasa harus diarahkan untuk mencapai tujuan menjadikan peserta didik mampu mewujudkan amanat atau perintah Allah SWT kepada Manusia untuk menggunakan bahasa dalam 6 (enam) macam kriteria penggunaan, yakni: (1) qaulan makrufa (4:5), perkataan yang bijaksana, (2) qaulan syadiida (4:9), katakatayang benar dan dapat dipercaya, (3) qaulan baligha (4:63), kata-kata yang berpengaruh secara mendalam sehingga membekas di dalam hati pendengar/ pembacanya, (4) qaulan maysura (17:28), kata-kata yang sopan, pantas, tidak menyakitkan hati, (5) qaulan layyina (20:44), kata-kata yang lemah-lembut, dan (6) qaulan karima (17:23), kata-kata yang mulia, yang menunjukkan derajat pembicara/ penulisnya dalam kinerja berbahasa yang berakhlakul karimah atau berakhlak mulia sebagaimana yang diharapkan dalam pendidikan karakter.
            Ada tiga fakta tentang belajar bahasa yang tidak bisa kita tolak kebenarannya. Pertama, semua anak bayi yang dilahirkan normal akan menguasai bahasa yang dipergunakan oleh lingkungannya. Ini terjadi tanpa melihat di mana bayi itu dilahirkan, siapa yang melahirkan, bagaimana ia dilahirkan. Kenyataan ini terjadi secara universal, sehingga hal tersebut menolak anggapan bahwa bahasa adalah warisan sosial. Pemerolehan bahasa ini tumbuh secara bertahap, yaitu mulai dari penguasaan bunyi-bunyi prabahasa, kemudian muncul 'kalimat satu kata' (one word sentence). Selanjutnya, muncul 'kalimat dua kata', kalimat sederhana, dan kemudian kalimat-kalimat yang strukturnya lebih kompleks. Menyuk (1988:24) menyatakan bahwa, "Language development takes place in a set of sequence and that this sequence is universal." Anak bayi di seluruh dunia belajar menguasai beberapa aspek bahasa yang lebih sederhana sebelum ia menguasai aspek bahasa yang lebih kompleks. Misalnya, ia belajar mengucapkan bunyi-bunyi vokal terlebih dahulu sebelum ia belajar mengucapkan konsonan, mengucapkan bunyi terlebih dahulu sebelum ia bisa mengucapkan kata-kata, belajar mengucapkan kata seperti papa, mama, kaka, sebelum ia mampu menggunakan rangkaian kata dalam bentuk kalimat-kalimat sederhana seperti Papa datang, mama duduk, atau kakak membaca buku.
            Fakta kedua adalah bahwa waktu yang dipergunakan oleh seorang anak untuk menguasai kaidah bahasa yang sangat kompleks terjadi pada waktu yang relatif singkat dan sangat menakjubkan, karena peristiwa belajar bahasa itu seakan-akan dialami oleh anak tanpa kesulitan apa pun. Fenomena belajar bahasa ini bersifat semesta tanpa ada pihak-pihak tertentu yang secara khusus memberikan pelajaran kepadanya. Dengan pernyataan filosofis, Boswel (1993:9) menyatakan bahwa peristiwa belajar bahasa pertama yang dialami seorang anak adalah conditio sine qua non yang terjadi pada saat anak tumbuh secara alamiah. Karenanya, peristiwa yang menjadi tanda tanya besar di kalangan filosof, ilmuwan, dan para orang tua ini mudah disikapi sebagai hal yang biasa. Banyak orang menganggap bahwa kemampuan berbahasa itu sebagai kehendak alam yang seharusnya memang demikian tanpa ada seorang pun yang dapat mencegahnya. Hal yang menakjubkan ini oleh Menyuk (1988:25) diungkapkan seperti berikut,"... a great deal of knowledge about language is acquired over a fairly short period of time."
            Fakta Iain yang membuat peneliti perkembangan bahasa anak tercengang adalah kemampuan anak menyimpulkan kaidah, membuat kategorisasi kata, memilah morfem-morfem penanda kala, jenis kelamin, jumlah, dan sebagainya. Pada hal, dalam kenyataan, kita melihat bahwa masukan bahasa (input) yang diterima oleh anak ketika anak belajar bahasa sangatlah bervariasi. Di dalam masukan bahasa itu pun tidak pernah ada pemilahan bahwa ini kalimat yang salah dan ini kalimat yang betul menurut kaidah, ini kalimat yang diucapkan tidak secara lengkap karena penuturnya menganggap hal itu tidak perlu diungkapkan secara lengkap. Namun, fakta menyatakan bahwa urutan pemerolehan bahasa pada tahap awal seakan-akan ditetapkan waktunya. Karena itu, Menyuk (1988:25) mengatakan bahwa "children hear language that is highly variable, takes place in time in a connected sequence, and then disappears." Akan tetapi, jika kita kaji secara lebih mendalam, di dalam peristiwa belajar bahasa ini terdapat persoalan yang menjadi pertanyaan besar bagi peneliti perkembangan anak (Romaine, 1984; Foster, 1990). Para peneliti tidak berhenti melakukan penelitian agar mereka mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka, misalnya: apa mekanisme yang mendasari perkembangan bahasa anak sehingga penggunaan bahasanya berkembang dari suatu tingkat ke tingkat lain, apakah anak juga memainkan peran utama di dalam proses pemerolehan bahasa ibunya, apakah lingkungan sosial juga berperan dalam proses pembentukan kemampuan bahasa anak, mengapa anak mempunyai kemampuan menghasilkan kalimat yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya sekali pun. Terdapat beberapa titik pandang yang berbeda dalam melihat fenomena pemerolehan bahasa. Di satu pihak, ada yang beranggapan bahwa anak berperan pasif dalam proses pemerolehan bahasa tersebut. Wundt (1900), sebagaimana dikutip oleh Deutsch (1981:1), menyatakan pendapatnya sebagai berikut, "Child language is a product of the child's environment. During this process the child basically integrates language in a passive way." Pandangan Wundt di atas tidak memberikan tempat bagi peran aktif anak dalam proses pemerolehan bahasa. Pandangan ini beranggapan bahwa kekuatan luarlah yang berperan membentuk kemampuan bahasa anak dalam proses pemerolehan bahasanya. Di pihak Iain, Ament (1902), seperti dikutip oleh Deutsch (1981:2), beranggapan bahwa proses pemerolehan bahasa adalah suatu kreasi atau penemuan kembali (reinvention). Pendukung pandangan ini berpikir bahwa anak mempunyai peran aktif dalam proses pemerolehan bahasa. Ament menyatakan bahwa “ ... in language acquisition the child is not imitating the adult's language, but the contrary holds, namely the adult is imitating the child." Menurut Ament, anak tidak meniru bahasa orang dewasa. Justru dalam kenyataan orang dewasalah yang menirukan bahasa anak-anak. Dengan demikian Ament mengakui bahwa anak mempunyai peran yang cukup besar dalam proses pemerolehan bahasa.
            Kontroversi pandangan aktif dan pasif dalam proses pemerolehan bahasa ini berjalan berabad-abad lamanya (Deutsch, 1981:2). Keadaan yang demikian ini menurut Stern dan Stern (1907) dalam bukunya "Die Kinder Sprache” tidak dapat dibenarkan baik secara teoritik maupun empirik. Lebih jauh kedua ahli ini menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa melibatkan dua peranti dasar. Pertama, 'proses pemerolehan bahasa merupakan proses mendekati bahasa orang dewasa (approximation) yang melibatkan anak di dalam kegiatan menguasai bentuk-bentuk konvensional yang terdapat di dalam sistem bahasa yang dipelajarinya. Kedua, proses pemerolehan bahasa dianggap sebagai proses konstruktif. Dalam hal ini, anak yang sedang belajar bahasa dipandang selalu menyusun hipotesis tentang hubungan antara bentuk, isi, dan fungsi sistem bahasa yang dipelajarinya. Proses pemerolehan bahasa adalah proses konvergen, yakni berinteraksinya kekuatan luar dan dalam secara mantap.

B.  Konsep Belajar Berbahasa
            Di benua Amerika, B.F. Skinner berpandangan bahwa belajar dapat terjadi dalam proses operant-conditioning yang dilaksanakan melalui program penguatan (reinforcement) bertahap. Namun, psikologi behavioristik yang sangat menekankan pada pengamatan empirik sebagai metode ilmiah ini dianggap belum berhasil menyingkap rahasia keberhasilan anak menguasai bahasa ibunya yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Dalam banyak bukti penelitian ditemukan bahwa seorang anak yang mempelajari bahasa ibunya menghasilkan ujaran yang tidak sama dengan bahasa orang tuanya. Braine (1963) berhasil mengumpulkan sejumlah bukti bahwa anak mempunyai kaidah tata bahasa yang berbeda dengan bahasa orang dewasa. Jika teori Skinner benar, tentunya anak tidak akan menghasilkan ujaran yang menurut orang dewasa tidak gramatikal dan tidak berterima.
            Ada dua hal yang menyebabkan metode pandangan kaum behavioris ini semakin tidak populer baik di kalangan peneliti maupun di kalangan pengajar bahasa. Pertama, pendekatan pengajaran bahasa tidak ditunjang dengan data empirik yang kuat. Hasil penelitian justru menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan asumsi pendukung metode audio lingual. Hakuta dan Cancino (1977) menyatakan bahwa belajar bahasa merupakan transfer kebiasaan dan bahwa titik kritis permulaan belajar bahasa kedua bersumber dari bahasa ibu itu tidak ditunjang oleh bukti yang teruji. Kedua, peneliti itu mendapatkan bahwa kesulitan yang dialami oleh siswa bahasa Jepang di dalam belajar bahasa Inggris tidak disebabkan oleh bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Jepang. Selain, kedua peneliti di atas, Pit Corder (1967), serta Heidi Dulay dan Marina Burt (1974) menemukan bahwa tidak benar proses belajar bahasa pertama berbeda dengan proses belajar bahasa kedua. Kedua peneliti yang disebut terakhir ini mendapatkan bahwa proses belajar bahasa pertama tidak berbeda dengan belajar bahasa kedua. Pendapat ini kemudian dikenal dengan nama Hipotesis Konstruksi Kreatif (creative construction hypothesis). Kesimpulan itu dikemukakan oleh Dulay dan Burt setelah kedua peneliti tersebut mengklasifikasikan dan menghitung kesalahan yang dibuat oleh pembelajar bahasa. Ternyata, dari kesalahan yang ada, hanya 4% kesalahan yang disebabkan oleh pengaruh bahasa ibu siswa. Karena itu, menurut Dulay dan Burt, tidak benar jika seluruh kesalahan pembelajaran bahasa kedua ditimpakan kepada bahasa ibu mereka. Bahkan Selinker (1972, 1992) menyatakan bahwa bahasa siswa yang disebutnya sebagai bahasa antara (interlanguage) haruslah dianggap sebagai bahasa yang mempunyai ciri karakteristik tata bahasa tersendiri (idiosyncracy), karena ternyata bahasa siswa mempunyai ciri yang tidak mirip dengan bahasa sumber maupun dengan bahasa sasaran. Oleh sebab itu, model mencari perbedaan dan persamaan yang dipakai oleh para pendukung analisis kontrastif tidak cukup baik untuk menerangkan bahasa antara. Diperlukan model yang lebih canggih yang mampu menerangkan gejala belajar bahasa tersebut. Kedua, pada tahun itu muncullah kritik Chomsky (1957) terhadap teori belajar bahasa yang dilontarkan oleh kaum Behaviorisme tersebut, sebagaimana yang terjabar dalam teori pemerolehan Bahasa Bawaan (Innatist Theory).

C.  Perkembangan Teori-Teori Belajar Bahasa
            Pada awal 1960-an terjadi revolusi di bidang bahasa dan pengetahuan bahasa yang sama-sama disepakati oleh ahli bahasa dan ahli ilmu jiwa. Revolusi itu dipelopori oleh ahli ilmu bahasa dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat yang bernama Noam Chomsky. Revolusi itu terjadi ketika Chomsky melontarkan pikirannya yang oleh pendukungnya dinamakan sebagai Tata Bahasa Transformasi (Transformational Grammar) atau Tata Bahasa Generatif (Generative Grammar). Pikiran Chomsky ini cepat diketahui orang karena Chomsky mengambil posisi bertentangan dengan B.F. Skinner, pencetus teori Rangsangan-Respon-Ganjaran (R-R-G). Dalam bahasannya yang terkenal, Chomsky (1964:549) menolak untuk menerima teori belajar Skinner, khususnya bila teori tersebut diterapkan untuk belajar bahasa. Penolakan tersebut didasari oleh keyakinan yang kuat dalam diri pencetus Tata Bahasa Generatif ini, bahwa faktor "the specific contribution of the organism" tidak dapat diabaikan perannya dalam proses belajar bahasa. Lebih-lebih lagi, peran organisme itu amat kompleks sehingga tidak cukup bila hanya diteliti dengan cara seperti yang dilakukan oleh Skinner dan pendukung-pendukungnya selama ini. Chomsky menekankan tentang perlunya diteliti karakter organisme dan kapasitas yang dimilikinya agar organisme itu dapat digambarkan secara rinci. Dengan tegas Chomsky (1964:549) mengatakan bahwa, "... the only hope of predicting that begins by studying the detailed character of the behavior itself and the particular capacities of the organism involved."
            Salah satu dari faktor yang menyebabkan pioner teori tata bahasa generatif ini menolak teori belajar bahasa aliran behaviorisme ialah karena perilaku manusia itu amat kompleks. Oleh karenanya, amat tidak memadai bila perilaku yang demikian kompleks itu hanya diteliti secara kasar (gross), bersifat permukaan saja (superficial), dan penyimpulannya hanya bersifat spekulatif. Akhirnya, Chomsky berkesimpulan bahwa Skinner telah gagal memerikan "the logical problem of language acquisition" (Lightbown dan Spada, 1993:8). Dalam bahasannya tersebut, Chomsky menaruh perhatian khusus terhadap kepesatan penguasaan bahasa yang dialami oleh anak-anak. Kemampuan mereka menguasai kaidah bahasa dalam waktu yang relatif singkat, kemampuan menggunakan bahasa seperti yang dipakai oleh orang-orang di sekelilingnya bahkan tanpa diajari secara langsung sekalipun, mendorong  Chomsky untuk sampai kepada perumusan sebuah teori belajar bahasa, bahwa seseorang mampu belajar bahasa karena di dalam diri manusia telah terdapat kapasitas belajar bahasa bawaan sejak lahir, yang disebut "Language Acquisition Device (LAD)". Keyakinan yang dianut oleh pendukung teori mentalis ini menolak pandangan sebelumnya, bahwa belajar bahasa dapat dibentuk dari luar. Belajar bahasa bukanlah semata-mata pembentukan kebiasaan, sebagaimana dipercayai oleh kaum struktural. Chomsky (1975) mengemukakan bahwa logika yang menyatakan bahwa keberhasilan belajar yang sebagaimana dikutip oleh Doughty dan Long (2003), menegaskan bahwa seorang anak secara biologis telah diprogram untuk menguasai bahasa atau bahasa-bahasa (endowed language faculty), dan penguasaan itu berkembang seirama dengan perkembangan biologis yang dialaminya. Pada perkembangan awalnya, kemampuan berbahasa tidak perlu diajarkan. Sebagaimana anak memperoleh kemampuan berjalannya, kemampuan berbahasa akan tumbuh ketika anak mulai dikenalkan dengan bahasa tertentu yang dipakai oleh lingkungannya. Lebih jelas lagi, Lenneberg (dalam Fodor dan Katz, 1964:596-597) menyatakan bahwa peristiwa pemerolehan bahasa yang dicapai oleh seorang anak tidaklah terjadi secara acak. Terdapat keteraturan yang dapat diamati dalam setiap jenjang perkembangannya. Dinyatakannya bahwa, ... that the development of speech does not proceed randomly, therecertain regularities that characterize speech at certain stages of development, ...The constancy in language developmental histories is merely an indirect cue for the deep-seated nature of language predispositions in the child.
Pada awalnya, Chomsky (1959) berpendapat bahwa kemampuan untuk belajar bahasa ini dimungkinkan oleh adanya peranti belajar bahasa yang disebut dengan nama Language Acquisition Device (LAD). Peranti itu diandaikan seperti kotak hitam pesawat terbang yang terletak di suatu tempat di dalam otak manusia. Kotak hitam itu diduga berisikan semua prinsip yang bersifat semesta bagi bahasa manusia. Prinsip inilah yang dalam proses pembentukan kompetensi bahasa anak berfungsi sebagai pengendali jalannya pemerolehan bahasa. Prinsip ini menuntun anak agar ia tidak menghasilkan kaidah yang keliru, lebih-lebih lagi yang berlawanan dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa yang sedang dipelajarinya tersebut. Melihat karakteristiknya yang bersifat khas itulah, dalam tulisantulisan Chomsky dan pendukungnya yang kemudian, peranti belajar bahasa itu tidak lagi disebut sebagai LAD, melainkan sebagai Universal Grammar' (untuk selanjutnya disebut dengan Tata Bahasa Semesta). Dengan Tata Bahasa Semesta ini, maka yang akan dipelajari oleh anak selama proses pembentukan kompetensi bahasanya berlangsung ialah bagaimana cara menerapkan prinsip umum itu ke dalam bahasa yang sedang dipelajari (Chomsky, 1981; Hyam, 1986; Cook, 1988; White, 1989; dan Lightfoot, 1991). Dengan berbekal peranti belajar bahasa yang berwujud Tata Bahasa Semesta inilah, seorang anak akan mampu belajar bahasa apa saja, sebab dengan tata bahasa semesta yang dimilikinya itu anak tinggal menyesuaikan kaidah yang ada di dalam benaknya (set parameter) dengan bahasa yang dipergunakan oleh lingkungannya.
            Dengan peranti itu pulalah, kemajuan yang dialami oleh anak yang belajar bahasa apa saja dan di mana saja ada dalam tahap perkembangan yang relatif mirip. Inti dari tata bahasa semesta itu adalah X dengan pengertian bahwa X adalah sebuah inti yang dapat tumbuh menjadi konstruksi yang lebih besar dengan penambahan unsur yang Iain (kita sebut sebagai Y). Kehadiran unsur X dan Y itulah yang merupakan tata bahasa semesta, sedangkan bagaimana X dan Y itu diletakkan adalah merupakan ciri khas dari setiap bahasa. Pengertian semacam inilah yang terkandung dalam ide parameter setting.
            Seorang anak yang dilahirkan dan kemudian dipajankan pada pemakaian bahasa Inggris dalam konteks alamiah, misalnya, akan menyesuaikan tata bahasa semestanya dengan meletakkan kata a book (dari unsur Y) di sebelah kanan inti read (dari unsur X), sehingga anak yang baru belajar bahasa Inggris itu akan mengenal bahwa dalam bahasa Inggris berlaku aturan inti lebih dahulu (head first). Jika kaidah yang demikian itu sudah ditetapkan, maka setiap ada kata kerja yang sejenis dengan read, misalnya buy, hit, write, secara otomatis dan konsisten akan mendorong anak untuk mengaktifkan tata bahasa semesta yang sudah diset sebelumnya itu dengan meletakkan objek untuk kata kerja transitif buy, hit, write, di sebelah kata kerja tersebut. Dengan kaidah itu anak akan membuahkan tuturan dua kata seperti buy candy, hit ball, write daddy, dan sebagainya.
            Berbeda halnya dengan anak yang berasal dari lingkungan berbahasa Inggris, anak dengan latar belakang lingkungan berbahasa Jepang akan menyesuaikan tata bahasa semestanya dengan meletakkan unsur Y di sebelah kiri X. Untuk selanjutnya anak akan mengetahui bahwa dalam bahasa Jepang berlaku prinsip head last, atau inti berada di belakang, karena anak-anak Jepang sejak dilahirkan dipajankan pada
struktur tuturan seperti berikut ini.
             E wa kabe ni kakatte imasu.
             gambar dinding pada tergantung
            Dalam kalimat bahasa Jepang di atas, verba kakatte imasu (tergantung) mengambil posisi di belakang Frasa Verbanya, sedangkan ni (pada) terletak di belakang Frasa Depannya. Pajanan seperti ini akan mendorong anak yang memperoleh pajanan tersebut mengeset tata bahasa semestanya, yaitu dengan meletakkan ‘inti’ di belakang komplemennya, sebab anak Jepang, melalui pajanan yang intensif, melalui intuisi bahasanya menangkap bahwa bahasa Jepang adalah head-last; atau, mengambil istilah Cook (1988:7), inti diletakkan di sebelah kanan (headright, tidak di sebelah kiri (head-left) seperti yang dilakukan oleh anak-anak yang dipajankan pada bahasa Inggris.
            Pandangan yang sedikit berbeda tentang peristiwa belajar bahasa secara alamiah diberikan oleh teori kemampuan bahasa bawaan. Teori ini berpandangan bahwa struktur biologis dan mekanisme belajar bahasa yang secara khusus hanya dimiliki oleh manusia (specific language learning mechanism). Diri pembelajar bahasa memegang peranan penting dalam proses belajar bahasa. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan kaum behavioris yang menyatakan bahwa struktur dan isi lingkunganlah yang menentukan keberhasilan belajar bahasa. Pandangan yang kontradiktif ini dikenal sebagai pertentangan antara nature dan nurture.
            Kemampuan belajar bahasa bawaan yang dimiliki oleh manusia secara genetik telah diprogram secara  sama dengan kemampuan untuk berjalan. Language Acquisition Device (LAD) di dalam otak manusia memungkinkannya untuk mempelajari bahasa manusia. Alat tersebut berlaku semesta, seperti yang dinyatakan oleh Larsen-Freeman dan Long (1994:228) bahwa "... humans are innately (i.e. genetically) endowed with universal language-specific knowledge". Pengetahuan yang oleh Chomsky tersebut dengan istilah Universal Grammar (Tata Bahasa Semesta), subhanallah, semua manusia normal sejak lahir sudah memiliki kemampuan untuk mempelajari bahasa apa saja. Di mana saja ia dilahirkan dan siapa saja yang melahirkan tidak menghalangi seorang anak untuk menguasai bahasa yang digunakan oleh lingkungannya tersebut. Dengan demikian, jika ada seorang bayi di lahirkan di Amerika, ia akan menggunakan kemampuan bawaannya untuk menguasai bahasa Inggris Amerika. Jika seandainya bayi dari orang tua yang sama itu dilahirkan di salah satu daerah di Indonesia, maka ia akan belajar menguasai bahasa daerah di tempat dia dilahirkan tersebut. Dengan sengaja teori ini membandingkan kemampuan belajar bahasa dengan kemampuan belajar berjalan. Orang tidak pernah bertanya-tanya mengapa seorang bayi yang sudah berusia kurang lebih 10 bulan akan belajar berjalan. Begitu pun dengan kemampuan belajar bahasa.
            Pada usia kira-kira 24 bulan, anak sudah mulai belajar berbicara, belajar mengucapkan sepatah-dua kata. Kedua kemampuan yang secara bertahap dikuasai oleh anak ini terjadi tanpa ada yang mengajarinya. Pada usia yang seakan-akan sudah diprogram secara biologis itu anak akan belajar berbicara (Clark dan Clark, 1977; Menyuk, 1988). Pada saat itu lingkungan hanya berfungsi sebagai pemberi masukan, atau menurut istilah Lightfoot sebagai pemicu (trigger) dan kemampuan belajar-bahasa bawaan yang dimiliki oleh anak itulah yang mengolah masukan tersebut menjadi ujaran yang memiliki struktur dan makna yang khas. Kemampuan belajar bahasa bawaan yang dimiliki anak sejak lahir itulah yang sepenuhnya menentukan bunyi apa yang dikuasai lebih dahulu, frasa dan kalimat yang bagaimana yang bisa digunakan lebih dahulu, dan sebagainya. Lingkungan tidak mempunyai daya untuk memaksa anak mengucapkan dan menggunakan ujaran tertentu. Tidak ada seorang pun yang mampu memaksa anak menghasilkan kalimat-kalimat tertentu sebelum otak anak itu sendiri mampu memproduksi kalimat yang dimaksudkan. Penganut aliran Chomsky menyatakan bahwa masukan bahasa tidak berperan apa-apa dalam menggerakkan Tata Bahasa Semesta yang telah dibawa anak sejak lahir. Untuk itu ada beberapa alasan yang dilontarkan untuk memperkuat pikiran tersebut (Chomsky, 1965; Fodor, 1966). Masukan bahasa yang diterima oleh anak mempunyai cacat performansi, seperti munculnya ujaran yang diucapkan secara tidak lengkap (fragments), salah ucap, dan faktor komunikasi yang menyebabkan kaidah bahasa yang digunakan menjadi kurang sempurna.
            Alasan kedua, dan ini dianggap sebagai alasan yang lebih penting, bahwa masukan bahasa yang diterima oleh anak sangat tidak cermat dalam banyak hal. Masukan bahasa yang diterima dari orang-orang di sekitarnya lebih banyak memperhatikan tersampaikannya isi, bukan koreksi bentuk bahasa (Brown-Hanlon, 1970; Hirsh-Pasek, Treiman, dan Schneiderman, 1984). Karenanya, masukan bahasa tersebut tidak akan mampu menyediakan negative evidence yang membuatnya tahu apa yang boleh diucapkan dan apa yang tidak dapat digunakan apabila dia mempelajari bahasa tertentu. Dari sinilah, kita bisa mengetahui bahwa masukan bahasa itu tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai sumber belajar bahasa, karena sumber itu bersifat tuna-pemicu (the poverty of stimulus) (Lightfoot, 1999:51). Harus ada sumber lain yang lebih utama, yaitu Tata Bahasa Semesta yang dibawa oleh anak yang bersangkutan sejak lahir. Tata bahasa Semesta ini, dalam bahasa-bahasa di dunia, mengandung kesamaan absolut, nosi, dan prinsip-prinsip. Akan tetapi, menurut Haegeman (1991:14-15), masing-masing bahasa mempunyai perangkat khusus (language-specific properties) yang menjadi ciri khas yang membedakan antara bahasa satu dengan yang lainnya.


D.  Kaidah dan Ciri Khas Bahasa
            Keberadaan Tata bahasa Semesta ini mendorong Steven Pinker (1999: 333-334) menyebut  kemampuan manusia yang agung itu sebagai Language Instinct. Ia pun mempertegas pernyataan Chomsky dan para penentangnya yang setuju terhadap satu hal, bahwa kemampuan bahasa yang bersifat instingtif dari manusia bukanlah kemampuan yang tumbuh akibat akumulasi gradual mutasi genetik yang bersifat random yang bertumbuh dari generasi ke generasi. Karena itu, Pinker (1999:334) dengan tegas menolak teori evolusi Darwin melalui pernyataannya bahwa sistem bahasa manusia terlalu kompleks jika dibandingkan dengan bahasa komunikasi binatang, termasuk di dalam primata. Pinker menyatakan bahwa sistem otak pengontrol bahasa primata sangat berbeda dengan sistem otak pengontrol bahasa manusia. Sistem otak primata dikontrol oleh sistem limbik yang secara filogenetis lebih tua daripada struktur neural. Adapun sistem otak yang mengontrol produksi bahasa manusia dikontrol oleh bagian otak yang disebut dengan cerebral cortex, khususnya daerah perisylvia bagian kiri.
            Bahasa manusia mengandung seperangkat kaidah (set of rules) yang disebut dengan Tata bahasa Generatif, yakni sistem yang tidak biasa, tidak alamiah, sebab bahasa manusia dikendalikan oleh discrete combinatorial system, yang memiliki 3 (tiga) ciri utama, yaitu: (1) tidak berbatas (infinite): dengan menguasai kaidah tata bahasa yang terbatas, manusia bisa menghasilkan bentukan kata dan kalimat yang tidak berbatas jumlah dan macamnya, (2) digital, yaitu ketidak- berbatasan bentukan kata dan kalimat yang dilakukan oleh otak manusia tersebut dicapai dengan menggabungkan dan menyusun kembali unsur-unsur bahasa dengan kaidah dan urutan tertentu, dan (3) komposisional, yaitu sifat kekayaan makna yang diperoleh dari masing-masing bentukan, baik makna yang dapat diprediksi dari masing-masing bagian, dari kaidah pembentukan yang digunakan, dan dari prinsip-prinsip penyusunan masing-masing bentuk kata dan kalimat. Samsuri (1985) memberikan contoh yang sangat jelas tentang berlakunya ketiga ciri khas bahasa manusia. Dalam bahasa Indonesia, penutur asli bahasa Indonesia akan menghasilkan Frasa Nomina seperti:
a. Rencana
b. Rencana induk
c. Rencana induk proyek
d. Rencana induk proyek perbaikan jalan
e. Rencana induk proyek perbaikan jalan jalan-lingkar
f. Rencana induk proyek perbaikan jalan jalan-lingkar yang dibangun dengan dana APBD tahun anggaran 2010

            Frasa Nomina a sampai dengan f di atas, dari yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks, mampu dibuat oleh penutur bahasa Indonesia sejalan dengan pertumbuhan kemampuan berbahasanya. Contoh tersebut memperlihatkan bahwa penutur bahasa akan mampu membuat kalimat yang tidak terbatas jumlah dan macamnya berdasarkan kaidah bahasa yang jumlahnya terbatas yang telah dikuasainya. Pinker (1999:347) menjelaskan lebih jauh tentang kelebihan bahasa manusia. Ahli bahasa dan pikiran berkebangsaan Amerika tersebut mempertegas posisi kepenolakannya terhadap teori Evolusi Darwin dengan menunjukkan kelebihan bahasa manusia atas binatang, dan kemudian disimpulkannya bahwa bahasa manusia memiliki ciri-ciri yang tidak pernah tampak dalam perilaku binatang, yaitu:
(1)   kemampuan membuat referensi;
(2)  penggunaan simbol untuk menggantikan tempat dan waktu dari referensi yang dibuat sebelumnya;
(3)   kreativitas bahasa;
(4)   menggunakan urutan secara tepat;
(5)   memahami ujaran secara kategoris;
(6)   penggunaan struktur yang dilakukan secara hirarkhis;
(7) penggunaan kaidah secara rekursif untuk menghasilkan bentukan yang sama strukturnya dengan kandungan makna yang berbeda;
(8)  penyusunan kalimat baru (novel sentence), bahkan kalimat yang belum pernah diajarkan dan didengarkan sekali pun.

E.  Persyaratan Dalam Berkomunikasi
            Akan menarik apabila kompetensi bahasa, kemampuan manusia yang menjadi pembeda dirinya dengan binatang itu dilihat dari pemanfaatannya dalam berkomunikasi. Mengapa demikian? Karena bisa berbahasa saja tidak cukup. Seorang komunikator atau penyampai pesan, dalam berkomunikasi, harus memenuhi beberapa persyaratan komunikasi efektif.
            Pengirim pesan/penyampai pesan merupakan sumber informasi dan sekaligus sebagai pemulai (inisiator) proses komunikasi. Sebelum ia menyampaikan pesan kepada orang lain, tentu ia harus memilih pesan yang harus disampaikan dan saluran yang hendak digunakan untuk menyampaikan pesannya. Pengirim pesan harus mampu menerjemahkan pikiran atau perasaannya yang akan disampai kepada penerima pesan, baik dalam bentuk bahasa lisan maupun bahasa tulis.
            Hellriegel, Jackson, dan Slocum (2005: 450) menyebutkan ada 5 macam persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang komunikator:
1. Relevan. Buatlah pesan yang akan disampaikan itu mengandung makna (meaningful) dan signifikan. Untuk mencapai kedua hal tersebut, seorang komunikator harus mampu menyeleksi katakata, simbol-simbol, dan kalimat yang akan mewadahi pesannya.
2.   Ringkas (simplicity). Gunakan kata-kata atau peristilahan yang ringkas dan jelas. Kurangi penggunaan kata/peristilahan dan simbol-simbol yang tidak umum yang pada gilirannya dapat mengurangi kejelasan pesan, pikiran, dan perasaan yang akan disampaikan.
3.  Organisasi. Susunlah pesan dalam kerangka yang jelas kaitannya satu sama lainnya. Selesaikan uraian satu poin sebelum berpindah ke poin yang lain. Penyusunan pesan yang demikian itu akan dapat memudahkan penerimaan dan pemrosesan pesan.
4.  Pengulangan. Ulangi pernyataan penting setidak-tidaknya dua kali, terutama dalam dalam komunikasi lisan, karena kata yang diucapkan tidak terdengar dengan baik.
5.  Fokus. Pusatkanlah penyampaian pesan pada inti pesan. Mulailah dengan pesan inti lebih dahulu, kemudian ikuti pesan inti tersebut dengan penjelasan. Hindari uraian yang tidak terkait dengan pesan inti tersebut. Juga, harus dihindari pemberian ilustrasi yang berlebihan yang dapat mengaburkan pesan utama yang hendak disampaikan.

            Selain kelima persyaratan komunikasi efektif di atas, seorang penyampai pesan harus tahu saluran yang bagaimana yang mampu menyampaiakn informasi secara efektif dan efisien. Menurut pendapat Hellriegel, Jackson, dan Slocum (2005: 457) membuat visualisasi derajat keefektifan saluran komunikasi seperti berikut (lihat Gambar 1).
SALURAN INFORMASI                                       KEKAYAAN INFORMASI               
          Diskusi tatap muka                                                                        Tertinggi

Percakapan menggunakan telepon                                                              Tinggi

Surat/memo yang disampaikan                                                                Menengah
           secara pribadi

Surat/dokumen atau disampaikan                                                               Rendah
        dalam bentuk e-mail
     atau buletin untuk umum

Dokumen laporan berisi angka                                                                Paling rendah
              atau budget
Gambar 1. Keselarasan tingginya derajat informasi dengan jenis saluran yang         seharusnya digunakan

            Dari visualisasi tersebut tampak jelas bahwa seorang komunikator perlu mengetahui dua hal, yaitu derajat ketinggian informasi yang hendak disampaikan dan saluran informasi yang harus digunakan ketika hendak menyampaikan informasi tersebut. Tanpa pengetahuan tentang kedua hal pokok dalam berkomunikasi tersebut mustahil seorang komunikator mencapai tujuan komunikasi secara efektif dan efisien.

F.  Kedudukan Pembelajaran Bahasa di Dalam Kelas
            Jika kita beranjak dari teori belajar bahasa Krashen (1981; 1982), telah kita kenal adanya dikotomi cara belajar bahasa, yaitu pemerolehan (acquisition) dan pembelajaran (learn). Pemerolehan bahasa terjadi secara alamiah dan di bawah sadar anak dan tanpa adanya intervensi dari lingkungan anak, sedangkan pembelajaran terjadi secara sengaja di lingkungan yang diciptakan oleh orang dewasa di sekitar anak. Akan tetapi kemudian muncul pendapat berbeda. Ahli pembelajaran bahasa seperti Bialystok (1976) merevisi pandangan Krashen dengan menyatakan bahwa pembelajaran bahasa tidak saja terjadi secara alamiah, meainkan juga terjadi di dalam lingkungan yang tidak alamiah, yaitu pembelajaran bahasa di dalam kelas. Dikatakan berlangsung tidak alamiah karena segala sesuatunya dipersiapkan: kondisi belajar, materi yang diajarkan, ukuran keberhasilan belajar, proses pembelajaran kesemuanya diatur untuk mencapai tujuan pembelajaran, yaitu mampu memahami tuturan yang datang dari luar pebelajar, dan mampu menghasilkan tuturan yang dapat dipahami oleh lawan tutur.
            Secara konvensional, pembelajaran bahasa di dalam kelas dapat didefinisikan sebagai terjadinya perilaku kognitif di dalam ruang kelas dengan guru sebagai pusat kegiatan belajar dan siswa kebanyakan mengambil posisi atau diposisikan sebagai pihak yang pasif (Krashen, 1981; 1982). Guru kurang memperhatikan kegiatan tukar-menukar informasi antara guru-siswa, siswa-guru, atau pun siswa-siswa. Dengan kondisi pembelajaran yang demikian, fungsi komunikatif pembelajaran bahasa dalam kelas tidak tercipta, karena, menurut Krashen (1982) input tidak menghasilkan intake.
            Sehubungan dengan pembelajaran bahasa di dalam kelas, Bialystok (1976) memberikan penafsiran ulang sumbangan pembelajaran dalam kelas terhadap pemerolehan bahasa sebagaimana tergambar dalam skema berikut.
Gambar 2. Sumbangan jenis pengetahuan, kondisi pembelajaran dalam kelas, dan sumbangannya terhadap pemerolehan bahasa menurut Bialystok.
            Secara lebih sederhana, skema Bialystok tersebut dapat divisualisasikan dengan gambar 3 berikut. Pada gambar di bawah ini terlihat bahwa baik pengetahuan yang diberikan secara langsung (pengetahuan eksplisit) oleh guru/dosen, atau pun pengetahuan yang diserap secara tidak langsung dari sumber bacaan, mengamati cara guru/dosen menerangkan atau memperlihatkan media pembelajaran (pengetahuan implisit), kedua-duanya memberikan kontribusi bagi pertumbuhan pengetahuan siswa, begitu juga terhadap pertumbuhan bahasanya. Dengan demikian, pengetahuan eksplisit yang disajikan oleh guru/dosen, begitu juga sumber-sumber bacaan atau sumber pembelajaran lainnya tidak boleh disiapkan secara sederhana, karena, jika itu terjadi, dampak yang akan diterima oleh siswa, baik bagi pertumbuhan pengetahuannya maupun pertumbuhan bahasanya, tidak akan maksimal.
Gambar 3. Hubungan langsung/tidak langsung pengetahuan eksplisit dan implisit terhadap pemerolehan bahasa
            Pada Gambar 3 di atas, Paradowski menyederhanakan skema Bialystok menjadi dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan eksplisit dan implisit. Selanjutnya, bertolak dari skema Bialystok di atas, Paradowski (2007) menjelaskan pengetahuan eksplisit dan implisit tersebut dalam bentuk tabel dikotomis berikut.
PENGETAHUAN EKSPLISIT
PENGETAHUAN IMPLISIT
Dipelajari
Secara sadar
Teranalisis
Metalingual
Teramati
Penggunaannya terkontrol
Berupa pengetahuan deklaratif
Diperoleh
Bawah sadar, Terinternalisasi
Tidak Teranalisis
Intuitif
Tersembunyi
Penggunaannya spontan, otomatis
Berupa pengetahuan prosedural
Tabel 1. Pengetahuan Eksplisit dan Pengetahuan Implisit

            Jika diamati dengan cermat, ternyata Paradowski (2007) melangkah lebih jauh dalam menafsirkan tata alir pembentukan pengetahuan dalam diri siswa. Di dalam kolom di atas dapat dibaca bahwa salah satu pengetahuan yang termasuk ke dalam pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan deklaratif, sedangkan yang masuk ke dalam pengetahuan implisit adalah pengetahuan prosedural. Penjelasan Paradowski tersebut amat penting bagi pembelajaran dalam kelas yang bertujuan untuk mencapai pemerolehan bahasa.
Sebagaimana dapat dibaca dari skema Bialystok di atas, kita tahu betapa penting kedudukan pembelajaran di dalam kelas bagi proses pembentukan pengetahuan siswa. Karena itu, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menyiapkan pengetahuan yang dapat mewujudkan pemerolehan bahasa melalui pengetahuan yang didapatkan oleh siswa di dalam kelas?
            Darling-Hammond (2008: 2) mengingatkan kita tentang apa dan bagaimana menyiapkan pengetahuan generasi mendatang dengan pernyataannya sebagai berikut:
 ..., effective education can no longer be focused on transmission of pieces of information that, once memorized, constitute a stable storehouse of knowledge. Education must help students learn how to learn in powerful ways, so that they can manage the demands of changing information, technologies, jobs, and social conditions.

            Mengutip Good dan Brophy (1986), Darling-Hammond (2008: 2) kemudian menegaskan bahwa ilmu keguruan yang diperlukan bukanlah pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan menghafalkan fakta terpisah-pisah dan pengetahuan dasar yang bersifat stabil, sehingga guru acapkali menganggap siswa adalah gudang pengetahuan yang tidak memiliki otoritas untuk memodifikasi, mengolah, mengembangkan, bahkan menolak informasi yang masuk ke dalam memori dalam otaknya.
            Pembelajaran yang sangat mendesak untuk generasi yang akan datang adalah pembelajaran yang memampuan siswa mengelola perubahan dan perkembangan informasi, teknologi, tuntutan lapangan pekerjaan, perubahan kondisi sosial.

G.  Karakteristik  dan Pola Pembelajaran Bahasa di Dalam Kelas
            Untuk mewujudkan pemerolehan bahasa di dalam kelas, menurut pikiran Bella Banathy (1980) yang dikutip oleh Marzano (1992), bahwa pembelajaran terletak dalam hubungan antara proses mengajar dan belajar. Dengan tegas Banathy mengatakan bahwa pengajaran yang efektif akan membawa dampak yang sangat besar terhadap pembelajaran. Oleh sebab itu, Marzano (1992:2) menegaskan bahwa tindakan paling penting dalam melakukan restrukrisasi dan reformasi keguruan adalah mereformasi proses pembelajaran dan tindakan yang terkait dengan, yaitu perencanaan, perancangan kurikulum, dan asesmen/penilaiannya. Selanjutnya, Stephanie Pace Marshall, Presiden ASCD dalam pendahuluan buku Marzano (1992) tersebut menyatakan bahwa pembelajaran di dalam kelas akan bermakna jika pembelajaran dapat memberikan dukungan penuh bagi munculnya genuine understanding yang dapat menumbuhkan berpikir kreatif dan etis dalam diri siswa.
            Untuk merealisasikan pikiran-pikiran yang bertujuan membangun keberhasilan belajar yang berakar kuat dan berumur panjang (long-lasting success in our classroom), Marzano (1992:14-15) menyarikan hasil penelitian dan pemikiran ahli teori belajar seperti Ennis (1987), Costa (1991), Perkins (1984), Flavel (1976) dan Amabile (1983) dengan menyebutkan 5 karakteristik ciri mental siswa yang perlu diwujudkan dalam pembelajaran, yaitu:
a)      Sensitif terhadap masukan atau umpan balik;
b)      Mengutamakan keakuratan dan ketepatan;
c)      Bekerja keras mencari jawab atau jalan pemecahan masalah meskipun untuk memperolehnya tidak mudah;
d)     Memandang pesoalan atau situasi dari sudut pandang yang berbeda;
e)      Menghindari sikap tergesa-gesa dan emosional.
            Sehubungan dengan pembelajaran bahasa, Allwright (1984:156), sebagaimana dikutip oleh Ellis (1994: 565) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan ‘the fundamental fact of classroom pedagogy’. Mengapa Allwright berpendapat demikian? Alasan utamanya adalah karena di dalam kelas terjadi interaksi langsung antara manusia yang berada di dalam kelas, yaitu komunikasi langsung antara guru—siswa, siswa—siswa, dan siswa—guru. Komunikasi tersebut amat besar pengaruhnya terhadap terjadinya interaksi/input di dalam proses belajar bahasa ke dua, yaitu bahasa Indonesia.
            Kita perlu memikirkan bagaimana menghadirkan pengetahuan deklaratif dan prosedural di dalam kelas yang digagas oleh Paradowski (2007) di atas dalam rangka menunjang terwujudnya pemerolehan bahasa di dalam kelas. Marzano dkk. (1992:40-112) memaparkan tentang pembelajaran pengetahuan deklaratif dan prosedural. Informasi deklaratif dapat dikelola dengan menggunakan salah satu dari enam pola organisasi baku seperti berikut:
a.       Pola-pola deskriptif.
Siswa dapat diajak mengelola fakta-fakta atau karakteristik tentang orang, tempat, benda, dan peristiwa tertentu. Dalam pembelajaran, mereka dapat diminta untuk mengenali dan mengorganisasikan fakta serta mengidentifikasi karakteristik yang tidak beraturan. Misalnya, setelah menonton film tentang Empire State Building, mereka diminta untuk mengumpulkan dan mengorganisasi informasi tentang kapan pencakar langit itu dibangun, ketinggiannya berapa, berapa banyak ruangannya, siapa tokoh yang memegang peran penting dalam pembangunan gedung tertinggi di dunia tersebut, dsb. Dalam pembelajaran, guru dapat membimbing siswa untuk menyusun informasi yang mereka kumpulkan dalam bentuk pola deskriptif sederhana seperti lambang grafis berikut ini.
b.      Pola-pola urutan.
Siswa dilatih untuk mengelola peristiwa-peristiwa dalam urutan kronologis tertentu, misalnya, setelah membaca 4 (empat) novel Andrea Hirata, pembelajar diminta menyusun secara kronologis kisah percintaan Ikal dengan A Ling, mulai dari perjumpaan pertama Ikal dengan gadis bermata sipit di tempat Ikal biasa membeli kapur tulis sampai ke gagalnya Ikal mempersunting gadis yang menambat hatinya itu karena ayah Ikal tidak mau putranya memperistrikan perempuan yang tidak seagama. Peristiwa 1, 2, 3, n dapat diidentifikasi dan disusun dengan pola urutan dalam lambang grafis berikut:
c.       Pola-pola proses/sebab.
Menyusun informasi menjadi jaringan sebab-akibat yang mengarah pada keluaran tertentu atau menjadi runutan langkah-langkah yang mengarah pada hasil tertentu. Contoh, informasi tentang peristiwa-peristiwa yang mengarah pada Perang Sipil dapat disusun sebagai pola proses/sebab seperti visualisasi berikut.
d.      Pola-pola masalah/ solusi.
Menyusun informasi menjadi masalah yang dikenali dan menemukan solusi yang mungkin diambil. Contoh, informasi tentang beragam tipe kesalahan diksi yang dapat terjadi dalam sebuah esai dan bagaimana mengoreksi kesalahan ini dapat disusun sebagai pola masalah/solusi seperti pada gambar berikut.
       Ikal terpesona oleh kuku A Ling yang rapi ketika gadis itu memberikan kotak kapur Ikal tahu apa jawaban lelaki di hadapannya itu ketika ia meminta izin untuk melamar A Ling, meskipun tak satu katapun keluar dari mulutnya.
e.       Pola-pola generalisasi.
Menyusun informasi menjadi generalisasi dengan contoh-contoh pendukung. Contoh, pernyataan: ‘Presiden AS seringkali berasal dari keluarga-keluarga yang memiliki kekayaan atau pengaruh besar’ merupakan generalisasi. Pola tersebut divisualisasikan sebagai berikut:
f.       Pola-pola konsep.
Mungkin yang paling umum dari semua pola yang ada. Seperti halnya pola-pola deskriptif, pola konsep ini berkaitan dengan orang, tempat, dan peristiwa, namun bukan orang, tempat, benda, dan peristiwa khusus, melainkan sebagai kelas atau kategori. Pola-pola konsep dapat dilambangkan secara grafis sebagai berikut:

H.  Langkah-Langkah Mewujudkan Pemerolehan Bahasa Dalam Kelas
            Marzano dkk. (1992:62-65) menunjukkan langkah-langkah yang jelas untuk mengajarkan pengetahuan prosedural. Langlah-langkah yang dimaksud dipaparkan berikut ini.
1. Berpikir dengan cara dilisankan/ dituliskan (thinking aloud).
       Berpikir dengan dilisankan atau dituliskan adalah teknik memberitahukan kepada orang lain untuk tahu apa yang sedang kita pikirkan, rancang, atau analisis. Rowland dan Reigeluth (dalam Plomp dan Ely, 1996:121-2) menjelaskan tentang pentingnya kegiatan berpikir yang dilisankan/dituliskan ini dengan menyatakan bahwa “… think-aloud protocols give at least partial evidence of the thought processes performers engage in during the performance of the task.” Dengan demikian, keseluruhan proses dari rencana kerja yang ada di dalam pikiran seseorang harus dipaparkan secara gamblang.
       Terkait dengan berpikir yang dinyatakan secara lisan atau tertulis ini, Marzano (1992:62-65) menjelaskan bahwa cara tersebut merupakan teknik sederhana namun kuat untuk membangun model awal. Berpikir dengan cara ini melibatkan pengungkapan pikiran siswa ketika ia menunjukkan keahlian atau proses.
       Dalam KTSP bahasa Indonesia untuk SMP kelas IX, misalnya, terdapat KD 11.2: Mengubah sajian grafik, tabel, atau bagan menjadi uraian melalui kegiatan membaca intensif. Oleh karena sebagian siswa ada yang lebih menyukai seperangkat langkah tertulis, di bawah ini disajikan seperangkat langkah yang mendeskripsikan bagaimana membaca grafik batang melalui teknik berpikir dituliskan:
a)      Baca judul grafik. Pahami informasi yang ada di dalamnya.
b)      Perhatikan garis mendatar di bagian bawah grafik. Kenali apa yang diukur.
c)      Perhatikan garis tegak di sisi kiri. Apa yang diukur? Perhatikan skala yang digunakan.
d)     Untuk masing-masing unsur yang diukur pada garis mendatar, kenali ‘ketinggian’nya pada garis tegak dan artikan ketinggian tersebut sesuai dengan angka yang terdapat pada garis tegak.
e)      Buat pernyataan keadaan yang meringkas informasi penting tentang jumlah, perbandingan jumlah angka yang berbeda pada tahun yang berbeda, dan kesimpulan tentang informasi dalam grafik batang dengan kalimat efektif.
2. Ajari siswa untuk membuat diagram alur.
Diagram alur (flow chart), menurut Rosset dan Gautier-Downes (1991) (dalam Plomp dan Ely, 1996:135) sangat tepat digunakan apabila siswa diarahkan pada pengambilan keputusan yang sifatnya dua arah (binary decisions) yang kemudian secara bertahap membimbing siswa untuk secara kronologis memutuskan untuk mengambil 1 (satu) keputusan yang terbaik. Romiszowski (1988:71) sebagaimana dikutip oleh Criticos (dalam Plomp dan Ely, 1996:183) memberikan contoh penggunaan diagram alur dalam pemilihan media pembelajaran, yakni dengan menyajikan serangkaian pertanyaan, mulai dari pertanyaan umum sampai ke pertanyaan khusus yang membimbing perancang pembelajaran dan perancang media pembelajaran dapat memilih media pembelajaran yang paling layak digunakan.
       Untuk mengajarkan pengetahuan prosedural, diagram alur dianggap merupakan salah satu cara paling kuat dalam membantu siswa membangun model untuk keahlian dan proses yang mereka pelajari (Marzano dkk. (1992:62-50). Dalam pelaksanaannya, siswa terlebih dulu harus melihat keahlian atau proses yang ditunjukkan, kemudian mereka ditugasi menggambarkan peristiwa tertentu dalam bentuk diagram alur. Setelah memperoleh pengalaman tersebut, siswa harus membuat representasi visual yang menjelaskan bagaimana langkah-langkah dalam diagram alur tersebut terkait antara langkah satu dengan lainnya, selanjutnya, siswa diminta mempresentasikannya di dalam kelompok atau di depan kelas. Dengan pengalaman dan kondisi seperti inilah pemerolehan bahasa di dalam kelas memperoleh dukungan yang sangat kuat untuk terwujud.

            Membangun cara berpikir merupakan bagian penting dalam pembelajaran kemampuan berbahasa, karena berbahasa itu juga berpikir. Salah satu hal penting yang semestinya dirancang dalam pembelajaran kemampuan berbahasa adalah bagaimana menyajikan kegiatan pembelajaran yang menjadikan para siswa kita sebagai strategic knowledge constructor. Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, menarik sekali untuk mengutip pernyataan Resnick dan Collins (dalam Plomp dan Ely, 1996:48-9) yang menyatakan bahwa “Expert learners are strategic knowledge constructers.” Bagaimana mewujudkan pikiran Resnick dan Collins tersebut? Jawabnya adalah mengajari dan melatih siswa untuk melakukan langkah-langkah dalam keahlian atau proses secara mental. Model keahlian atau proses dapat diperkuat melalui latihan mental yang dilakukan dengan cara mengulas langkah-langkah yang hendak dilakukan di dalam pikiran tanpa mewujudkannya menjadi tindakan yang sebenarnya. Misalnya, guru dapat meminta siswa membayangkan langkah-langkah yang harus mereka lakukan ketika menyusun cerita
pendek dengan teknik kolase. Setelah membayangkan peristiwa-peristiwa yang akan dihadirkan ke dalam cerpen mereka, mereka diminta duduk berpasangan untuk membandingkan proses penyusunan cerita dengan teknik kolase yang hadir bayangan mereka. Selanjutnya, guru membagi potongan-potongan kertas yang berisi potongan-potongan peristiwa yang diambil dari sebuah cerpen, potongan puisi, lagu, dan berita surat kabar. Setelah itu, guru meminta para siswanya untuk mempraktikkan diagram
alir peristiwa-peristiwa cerita pendek yang telah dipikirkannya.
            Langkah mewujudkan pemerolehan bahasa dalam kelas berikutnya adalah mengasah pengetahuan prosedural siswa. Sehubungan dengan hal ini, Tennyson (dalam Plomp dan Ely, 1996:54) mengutip pendapat Tennyson dan Rasch (1988) yang menjelaskan bahwa pengetahuan prosedural ini berada dalam wilayah ingatan jangka panjang (Long Term Memory). Dinyatakannya bahwa “Within long-term memory there are various types of conceptual knowledge: declarative, procedural, and contextual.”
            Membangun model awal untuk keahlian atau proses baru adalah langkah pertama dalam mempelajari pengetahuan prosedural. Setelah mempergunakan keahlian atau proses tersebut, siswa-siswa dibimbing untuk mengubah model awal yang sudah disusunnya dengan cara menemukan apa yang berfungsi dan tidak. Melalui pembimbingan, siswa diajak untuk menambahkan beberapa hal yang diperlukan atau menanggalkan sebagian lainnya yang dianggap tidak diperlukan.        Dalam latihan, misalnya, guru dapat melatih siswanya menyunting esai untuk menemukan kesalahan diksi dengan cara berpikir bersuara. Ketika menemukan “kejanggalan”, mereka diminta menayangkan hasil suntingannya ke layar sambil berkata, “Teman-teman, tolong perhatikan ke layar! Pronomina manakah yang tepat saya gunakan di sini ‘kamu’ ataukah ‘pembaca’? Jika digunakan kata ganti ‘pembaca’, apakah harus pronomina itu dipergunakan terus-menerus, atau bisa menggunakan kata ganti atau kata sapaan lain?
            Salah satu bagian penting dalam menguasai pengetahuan prosedural yaitu memberitahukan kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Guru dapat menunjukkan kesalahan dan kekeliruan umum ini atau ia dapat menunjukkan kesalahan ketika siswa melakukannya, baik secara individual atau pun kelompok dalam bentuk pemberian tutorial atau pun dalam pembahasan yang dilakukan secara klasikal.
            Prof. Eugenius Sadtono  pernah membahas cara tepat bersikap formal sebagai tamu di Jepang. Sebagai guru bahasa asing, beliau menunjukkan beberapa kesalahan umum yang dilakukan oleh orang Amerika, khususnya ketika bertamu. Orang Amerika beranggapan bahwa tidak pantas jika tamu mandi malam terlebih dahulu, sedangkan tuan rumah yang orang Jepang beranggapan bahwa sikap paling hormat tuan rumah dapat ditunjukkan pada saat mereka memberikan kesempatan kepada tamunya untuk mandi malam lebih dahulu. Jika kedua belah pihak sama-sama tidak mengerti, bisa jadi kedua belah pihak tidak mandi sampai malam hari. Karena itu, pembelajaran keahlian dan proses ini harus diberikan dengan berbagai cara dan dalam berbagai kesempatan, terutama pada peristiwa-peristiwa penggunaan bahasa yang berbeda budayanya antara budaya bahasa siswa dan budaya bahasa yang dipelajari.
            Upaya mewujudkan pemerolehan bahasa di dalam kelas dapat dilakukan dengan merancang kegiatan pembelajaran yang dapat membantu siswa mengembangkan dan memperbaiki pengetahuan melalui perbandingan. Perbandingan merupakan suatu proses mengidentifikasi ciri-ciri dua benda atau lebih, kemudian, berdasarkan hasil identifikasi tersebut, guru dapat meminta siswa menetapkan apakah dua benda yang baru saja diamati cirinya tersebut serupa dan berbeda. Misalnya, guru dapat mengajak siswanya untuk membandingkan dua mobil dengan menetapkan terlebih dahulu karakteristik yang akan dibandingkan (harga, tenaga kuda, efisiensi bahan bakar, dsb). Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:
a)      Pilih benda yang akan dibandingkan
b)      Pilih karakteristik benda untuk membuat perbandingan
c)      Jelaskan bagaimana benda yang dibandingkan mempunyai sifat serupa atau berbeda dengan karakteristik yang telah ditetapkan
d)     Masukkanlah hasil identifikasi ciri kedua benda ke dalam bentuk matrik seperti di bawah ini
e)      Coba uraikan hasil perbandingan tersebut dengan menggunakan wacana deskriptif.

Anjing
Ular
Burung
Kuda
Rambut
+
_
_
+
Menggonggong
+
_
_
_
Kaki empat
+
_
_
+
Tabel 2. Matriks Perbandingan
            Untuk membuat matriks ini, guru perlu terlebih dulu memberi siswa gambar benda-benda yang akan dibandingkan (anjing, ular, burung, kuda) dan karakteristik yang akan dibandingkan (rambut, menggonggong, empat kaki). Setelah siswa membuat perbandingan dengan menempatkan tanda + atau – untuk menunjukkan apakah benda tertentu memiliki karakteristik yang terdapat dalam matriks. Lebih jauh, siswa dapat diajak untuk mengembangkan matriks dengan mengidentifikasi benda lain dengan karakteristik lain yang ditempatkan dalam matriks dan dibandingkan menggunakan karakteristik yang telah ditambahkan, sebagaimana tabel berikut.

Anjing
Ular
Burung
Kuda
Kucing
Lembu
Rambut/ bulu
+
_
_
+
+
_
Menggonggong
+
_
_
_
­_
_
Kaki empat
+
_
_
+
+
+
Sebagai hewan
Peliharaan
+
+
+
+
+
_
Sebagai
Makanan
_
_
+
_
_
+
Dapat terbang
_
_
+
_
_
_
Tabel 3. Perluasan Matriks Perbandingan
            Ketika matriks selesai, siswa dapat diminta membuat paragraf yang berisi uraian tentang kesamaan atau perbedaan benda-benda yang mereka perbandingkan dengan menggunakan matriks mereka.
            Setelah siswa memiliki kemampuan mengidentifikasi dan melakukan perbandingan, kemampuan itu dapat ditingkatkan dengan kemampuan mengelompokkan. Kemampuan ini dapat dicapai setelah siswa mengenal ciri-ciri benda, kesamaan dan perbedaan ciri benda. Pengelompokan merupakan proses pengumpulan benda-benda menjadi kategori. Contoh, ketika kota membagi binatang berkaki empat menjadi tiga kelompok utama. Proses ini mengembangkan dan memperbaiki pengetahuan pembelajar dengan memikirkan atribut dan karakteristik dengan cara yang tidak biasa. Mungkin aspek paling penting pengelompokan adalah tahap pembuatan aturan yang digunakan dalam membentuk kategori. Contoh, satu kelompok binatang berkaki empat yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Pada kategori satu ini, peserta didik besar kemungkinan akan berdiskusi atau berdebat keras untuk mempertahankan pengategoriannya masing-masing, sebab ada suku bangsa tertentu di Indonesia ada yang suka memakan anjing, kuda, atau ular, sedangkan suku lain tidak biasa melakukannya. Kelompok lain adalah kategori binatang berkaki empat yang berdiam di dalam rumah bersama dengan pemiliknya. Untuk kategori kedua ini pun akan terjadi diskusi meskipun tidak sehebat yang pertama, misalnya pada penetapan ular sebagai binatang peliharaan/kesayangan.
            Sekadar catatan untuk guru, yaitu bahwa guru harus benar-benar memberikan bimbingan pembelajaran pengelompokan ini, bukan sekadar mengatakan: ‘kelompokkan informasi ini’. Sebagai kegiatan perluasan dan perbaikan, pengelompokan informasi seringkali merupakan proses yang menantang, dan banyak peserta didik yang membutuhkan bimbingan untuk menguasainya dengan sepenuhnya.
            Pemerolehan bahasa di dalam kelas akan lebih besar kemungkinannya untuk terwujud apabila guru menciptakan kondisi belajar yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan dan memperbaiki pengetahuan melalui melalui penyimpulan secara induktif. Induksi melibatkan pengambilan kesimpulan umum dari observasi khusus atau bagian tertentu dari informasi. Sebagian besar dari kita sering menggunakan induksi secara informal setiap hari. Pada intinya, induksi melibatkan analisis terhadap hal khusus dan kemudian membentuk generalisasi. Ini merupakan alat belajar yang banyak diaplikasikan di dalam kelas.
            Adapun langkah-langkah khusus untuk menggunakan induksi dengan baik adalah seperti berikut ini.

1. Kenalkan siswa pada cara melakukan induksi.
Hampir semua siswa membutuhkan pengantar pada konsep induksi karena hal ini mudah sekali salah dipahami. Contoh kongkrit adalah pengenalan terbaik. Coba ini: masuklah ke dalam kelas, banting pintu, lempar tas buku anda di meja anda masing-masing, kemudian duduk dengan muka cemberut. Setelah sesaat, minta siswa membuat kesimpulan terhadap serangkaian tindakan yang mereka lakukan: mereka akan menyimpulkan bahwa itu adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang sedang kesal atau marah. Kemudian, jelaskan pada mereka bahwa proses mental yang mereka gunakan disebut induksi, yaitu penalaran dari khusus menuju ke kesimpulan umum. Selanjutnya, siswa diminta mengidentifikasi contoh-contoh lain induksi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan mengamati iklan yang berbeda untuk produk yang sama. Siswa dapat diminta mendiskusikan kesamaan dan perbedaan benda yang ada pada iklan. Berikutnya, dengan cara berpikir nyaring, guru bahasa dapat menunjukkan langkah-langkah penarikan kesimpulan secara induktif tentang tema umum pada tiga iklan berbeda untuk produk yang sama.
2.  Berikan kepada siswa cara menyajikan induksi secara grafis.
Meskipun induksi tidak mudah dilambangkan secara grafis, namun akan lebih mudah jika cara menarik kesimpulan secara induktif divisualisasikan dengan grafis proses berikut:




            
Observasi atau bagian informasi khusus ditempatkan dalam kotak pertama. Deskripsi umum pola-pola atau hubungan yang diamati ditempatkan dalam kotak kedua. Selanjutnya, kesimpulan ditempatkan dalam kotak ketiga.
3. Ajari siswa untuk menggunakan matriks induksi.
Matriks induksi paling mudah diterapkan pada konsep. Baris mendatar matriks induksi berisi konsep yang dipertimbangkan. Secara umum, konsep ini haruslah masuk dalam kategori umum (contoh, tipe pemerintah). Kolom matriks berisi pertanyaan tentang setiap konsep yang harus dijawab. Tabel berikut menunjukkan contoh matriks induksi. Perhatikan bahwa kesimpulan ditarik untuk baris dan kolom. Setelah siswa menjawab kolom pertanyaan ‘Siapa yang memerintah?’ ‘Bagaimana keputusan dibuat?’ ‘Apa contoh awalnya?’ untuk setiap dari empat tipe pemerintahan (demokrasi, republik, monarki, dan kediktatoran dalam matriks, mereka dapat menarik kesimpulan tentang kekuasaan, pembuatan keputusan, dan bentuk awal pemerintahan (kolom kesimpulan). Akhirnya, mereka dapat membuat kesimpulan ringkasan yang menggabungkan unsur-unsur kesimpulan baris dan kolom.



Tabel 4. Matriks Induksi

Siapa yang memerintah

Bagaimana keputusan dibuat
Contoh awal

Kesimpulan

Demokrasi




Republik




Monarki




Diktator




Kesimpulan





            Sebagai kegiatan lain, misalnya, dalam KTSP untuk SMP terdapat kompetensi dasar yang meminta siswa mengomentari karya seni. Indikator yang dapat dikembangkan oleh guru tergambar pada matrik di atas ini. Dalam kegiatan pembelajarannya, guru dapat meminta peserta didik menggunakan matriks induksi untuk menarik kesimpulan tentang tiga jenis seni berbeda. Setelah matrik itu selesai, baru kegiatan pembelajaran berikutnya dapat dilakukan, yaitu mengomentari karya seni dengan cara membandingkan ciri karya seni yang satu dengan yang lainnya berdasarkan matriks yang telah disusun.

I.  Pengembangan dan Pengelavalusian Pengajaran Bahasa di Dalam Kelas
            Setelah pembelajaran mengetahui dan memperoleh pengalaman belajar cara menyimpulkan informasi secara induksi, guru dapat membantu kemampuan menggunakan bahasa melalui kegiatan pembelajaran mengembangkan dan memperbaiki pengetahuan melalui deduksi. Deduksi merupakan jenis pemikiran kuat yang kita gunakan hampir setiap hari. Contoh, Anda membuat deduksi ketika Anda memberitahu Anda sendiri tidak boleh makan sebuah kue karena kue itu mengandung ‘terlalu banyak gula yang dapat menjadikan Anda gemuk’. Yang mengendalikan Anda untuk tidak makan kue yang mengandung banyak gula adalah pengetahuan yang Anda miliki, bahwa menumpuk gula dalam tubuh dapat mengakibatkan kegemukan. Meskipun lebih sulit dari induksi, deduksi bermanfaat karena cara belajar ini dapat memberikan perspektif unik pada informasi isi. Adapun langkah-langkah untuk mengajarkan cara berpikir deduktif (Marzano, dkk. 1992:109-117) adalah seperti berikut:
1. Kenalkan siswa pada konsep deduksi.
       Guru/dosen dapat menunjukkan perbedaan antara induksi dan deduksi dengan memberi pembelajar contoh-contoh. Dengan anggapan deduktif, kesimpulan haruslah benar jika premis benar. Anda tahu bahwa paus mesti menghirup udara karena paus adalah mamalia dan semua mamalia menghirup udara. Dengan anggapan induktif, kesimpulan sangat mungkin namun kesimpulan itu tidak mutlak.
2. Berikan beberapa panduan umum untuk diikuti siswa ketika mereka terlibat dalam penalaran deduktif, seperti berikut:
a)      Identifikasi aturan umum yang berlaku pada situasi yang Anda pertimbangkan.
b)      Identifikasi kondisi yang harus ada agar aturan umum tersebut berlaku.
c)      Jika kondisinya ada, identifikasi hal-hal yang harus benar berdasarkan aturan umum.
3. Beri peserta didik format dan isi argumentasi kategoris.
       Pada tingkat paling dasar, Anda membuat argumentasi kategoris ketika Anda menarik kesimpulan dari premis. Contoh, Anda berpikiran secara kategoris ketika penalaran Anda mengikuti pola ini:
a. Semua pesawat komersiil memiliki peralatan pemadam kebakaran
b. Pesawat yang saya naiki merupakan pesawat komersiil
c. Sehingga, pesawat ini memiliki peralatan pemadam kebakaran

            Jenis argumentasi ini disebut silogisme. Pernyataan a dan b adalah premis. Pernyataan c adalah kesimpulan. Silogisme selalu memiliki dua premis dan sebuah kesimpulan. Dalam penalaran keseharian, bentuk silogisme kategoris biasanya tersembunyi. Contoh, argumentasi berikut didasarkan pada silogisme kategoris tersembunyi: Saya tahu pesawat ini memiliki peralatan pemadam kebakaran karena ini merupakan pesawat komersial. Di balik pernyataan ini tersembunyi premis a dan b seperti dinyatakan di atas dan kesimpulan c. Perhatikan bahwa kesimpulan harusnya benar. Sebagaimana karakteristik penjelas dari semua bentuk penalaran deduktif, ketika diketahui bahwa premis benar, kesimpulan harusnya benar.

J.  PENUTUP
            Pemerolehan bahasa dalam kelas dapat diwujudkan dengan memberikan pengetahuan eksplisit dan implisit kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Pengetahuan eksplisit dan implisit dapat direalisasikan oleh guru melalui penyajian pengetahuan, baik yang terkait dengan pengetahuan bahasa maupun yang terkait dengan ranah isi. Selain itu, dalam pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas, guru perlu merancang kegiatan pembelajaran yang terkait dengan pengetahuan deklaratif dan prosedural bagi peserta didik. Melalui pembelajaran induktif, deduktif, atau pun campuran, guru dapat menjadikan kelas sebagai ranah yang memberikan kondisi terjadinya pemerolehan bahasa, bukan hanya pada ranah alamiah sebagaimana dipikirkan oleh Stephen D. Krashen, melainkan juga pada ranah pseudo alamiah seperti kelas, sebagaimana dipaparkan oleh Bialystok. Karena itu, tentang perancangan isi, materi, dan kegiatan pembelajaran bahasa agar kompetensi berbahasa Indonesia siswa dapat berkembang dengan sempurna.



DAFTAR PUSTAKA
Ghazali, A.S. 1978. Teori Pemerolehan Bahasa kedua dan Pembelajarannya. Jakarta: Dirjen Dikti.
Ghazali, A.S. 2010. Pembelajaran Keterampilan berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: Refika Adhitama.
Samsuri. 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Sastra Hudaya.