MENUMBUHKAN PEMEROLEHAN
BAHASA DI DALAM KELAS
A.
PENDAHULUAN
Di dalam dunia pendidikan,
pembelajaran bahasa seharusnya mengajarkan kompetensi yang semestinya lebih
dari sekadar kemampuan berkomunikasi. Akan tetapi, pembelajaran kemampuan
berbahasa harus diarahkan untuk mencapai tujuan menjadikan peserta didik mampu
mewujudkan amanat atau perintah Allah SWT kepada Manusia untuk menggunakan bahasa
dalam 6 (enam) macam kriteria penggunaan, yakni: (1) qaulan makrufa (4:5), perkataan yang bijaksana, (2) qaulan syadiida (4:9), katakatayang
benar dan dapat dipercaya, (3) qaulan
baligha (4:63), kata-kata yang berpengaruh secara mendalam sehingga
membekas di dalam hati pendengar/ pembacanya, (4) qaulan maysura (17:28), kata-kata yang sopan, pantas, tidak menyakitkan
hati, (5) qaulan layyina (20:44),
kata-kata yang lemah-lembut, dan (6) qaulan
karima (17:23), kata-kata yang mulia, yang menunjukkan derajat pembicara/
penulisnya dalam kinerja berbahasa yang berakhlakul karimah atau berakhlak mulia
sebagaimana yang diharapkan dalam pendidikan karakter.
Ada tiga fakta tentang belajar
bahasa yang tidak bisa kita tolak kebenarannya. Pertama, semua anak bayi yang dilahirkan normal akan menguasai
bahasa yang dipergunakan oleh lingkungannya. Ini terjadi tanpa melihat di mana bayi
itu dilahirkan, siapa yang melahirkan, bagaimana ia dilahirkan. Kenyataan ini
terjadi secara universal, sehingga hal tersebut menolak anggapan bahwa bahasa
adalah warisan sosial. Pemerolehan bahasa ini tumbuh secara bertahap, yaitu mulai
dari penguasaan bunyi-bunyi prabahasa, kemudian muncul 'kalimat satu kata' (one word sentence). Selanjutnya, muncul
'kalimat dua kata', kalimat sederhana, dan kemudian kalimat-kalimat yang
strukturnya lebih kompleks. Menyuk (1988:24) menyatakan bahwa, "Language development takes place in a
set of sequence and that this sequence is universal." Anak bayi di seluruh dunia belajar menguasai beberapa aspek
bahasa yang lebih sederhana sebelum ia menguasai aspek bahasa yang lebih kompleks.
Misalnya, ia belajar mengucapkan bunyi-bunyi vokal terlebih dahulu sebelum ia
belajar mengucapkan konsonan, mengucapkan bunyi terlebih dahulu sebelum ia bisa
mengucapkan kata-kata, belajar mengucapkan kata seperti papa, mama, kaka,
sebelum ia mampu menggunakan rangkaian kata dalam bentuk kalimat-kalimat sederhana
seperti Papa datang, mama duduk, atau kakak membaca buku.
Fakta kedua adalah bahwa waktu yang dipergunakan oleh seorang anak untuk
menguasai kaidah bahasa yang sangat kompleks terjadi pada waktu yang relatif
singkat dan sangat menakjubkan, karena peristiwa belajar bahasa itu seakan-akan
dialami oleh anak tanpa kesulitan apa pun. Fenomena belajar bahasa ini bersifat
semesta tanpa ada pihak-pihak tertentu yang secara khusus memberikan pelajaran
kepadanya. Dengan pernyataan filosofis, Boswel (1993:9) menyatakan bahwa
peristiwa belajar bahasa pertama yang dialami seorang anak adalah conditio sine qua non yang terjadi pada
saat anak tumbuh secara alamiah. Karenanya, peristiwa yang menjadi tanda tanya
besar di kalangan filosof, ilmuwan, dan para orang tua ini mudah disikapi sebagai
hal yang biasa. Banyak orang menganggap bahwa kemampuan berbahasa itu sebagai
kehendak alam yang seharusnya memang demikian tanpa ada seorang pun yang dapat mencegahnya.
Hal yang menakjubkan ini oleh Menyuk (1988:25) diungkapkan seperti berikut,"... a great deal of knowledge about
language is acquired over a fairly short period of time."
Fakta Iain yang membuat peneliti
perkembangan bahasa anak tercengang adalah kemampuan anak menyimpulkan kaidah,
membuat kategorisasi kata, memilah morfem-morfem penanda kala, jenis kelamin,
jumlah, dan sebagainya. Pada hal, dalam kenyataan, kita melihat bahwa masukan
bahasa (input) yang diterima oleh anak ketika anak belajar bahasa sangatlah
bervariasi. Di dalam masukan bahasa itu pun tidak pernah ada pemilahan bahwa
ini kalimat yang salah dan ini kalimat yang betul menurut kaidah, ini kalimat
yang diucapkan tidak secara lengkap karena penuturnya menganggap hal itu tidak
perlu diungkapkan secara lengkap. Namun, fakta menyatakan bahwa urutan
pemerolehan bahasa pada tahap awal seakan-akan ditetapkan waktunya. Karena itu,
Menyuk (1988:25) mengatakan bahwa "children
hear language that is highly variable, takes place in time in a connected
sequence, and then disappears."
Akan tetapi, jika kita kaji secara lebih mendalam, di dalam peristiwa belajar
bahasa ini terdapat persoalan yang menjadi pertanyaan besar bagi peneliti
perkembangan anak (Romaine, 1984; Foster, 1990). Para peneliti tidak berhenti
melakukan penelitian agar mereka mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka,
misalnya: apa mekanisme yang mendasari perkembangan bahasa anak sehingga
penggunaan bahasanya berkembang dari suatu tingkat ke tingkat lain, apakah anak
juga memainkan peran utama di dalam proses pemerolehan bahasa ibunya, apakah
lingkungan sosial juga berperan dalam proses pembentukan kemampuan bahasa anak,
mengapa anak mempunyai kemampuan menghasilkan kalimat yang bahkan belum pernah
ia dengar sebelumnya sekali pun. Terdapat beberapa titik pandang yang berbeda
dalam melihat fenomena pemerolehan bahasa. Di satu pihak, ada yang beranggapan bahwa
anak berperan pasif dalam proses pemerolehan bahasa tersebut. Wundt (1900),
sebagaimana dikutip oleh Deutsch (1981:1), menyatakan pendapatnya sebagai
berikut, "Child language is a
product of the child's environment. During this process the child basically
integrates language in a passive way."
Pandangan Wundt di atas tidak memberikan tempat bagi peran aktif anak dalam
proses pemerolehan bahasa. Pandangan ini beranggapan bahwa kekuatan luarlah
yang berperan membentuk kemampuan bahasa anak dalam proses pemerolehan
bahasanya. Di pihak Iain, Ament (1902), seperti dikutip oleh Deutsch (1981:2), beranggapan
bahwa proses pemerolehan bahasa adalah suatu kreasi atau penemuan kembali (reinvention). Pendukung pandangan ini
berpikir bahwa anak mempunyai peran aktif dalam proses pemerolehan bahasa. Ament
menyatakan bahwa “ ... in language
acquisition the child is not imitating the adult's language, but the contrary
holds, namely the adult is imitating the child." Menurut Ament, anak
tidak meniru bahasa orang dewasa. Justru dalam kenyataan orang dewasalah yang
menirukan bahasa anak-anak. Dengan demikian Ament mengakui bahwa anak mempunyai
peran yang cukup besar dalam proses pemerolehan bahasa.
Kontroversi pandangan aktif dan
pasif dalam proses pemerolehan bahasa ini berjalan berabad-abad lamanya
(Deutsch, 1981:2). Keadaan yang demikian ini menurut Stern dan Stern (1907)
dalam bukunya "Die Kinder Sprache”
tidak dapat dibenarkan baik secara teoritik maupun empirik. Lebih jauh kedua
ahli ini menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa melibatkan dua peranti dasar.
Pertama, 'proses pemerolehan bahasa
merupakan proses mendekati bahasa orang dewasa (approximation) yang melibatkan anak di dalam kegiatan menguasai bentuk-bentuk
konvensional yang terdapat di dalam sistem bahasa yang dipelajarinya. Kedua, proses pemerolehan bahasa
dianggap sebagai proses konstruktif. Dalam hal ini, anak yang sedang belajar
bahasa dipandang selalu menyusun hipotesis tentang hubungan antara bentuk, isi,
dan fungsi sistem bahasa yang dipelajarinya. Proses pemerolehan bahasa adalah
proses konvergen, yakni berinteraksinya kekuatan luar dan dalam secara mantap.
B.
Konsep Belajar Berbahasa
Di benua Amerika, B.F. Skinner
berpandangan bahwa belajar dapat terjadi dalam proses operant-conditioning yang dilaksanakan melalui program penguatan (reinforcement) bertahap. Namun,
psikologi behavioristik yang sangat menekankan pada pengamatan empirik sebagai metode
ilmiah ini dianggap belum berhasil menyingkap rahasia keberhasilan anak
menguasai bahasa ibunya yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Dalam
banyak bukti penelitian ditemukan bahwa seorang anak yang mempelajari bahasa
ibunya menghasilkan ujaran yang tidak sama dengan bahasa orang tuanya. Braine
(1963) berhasil mengumpulkan sejumlah bukti bahwa anak mempunyai kaidah tata bahasa
yang berbeda dengan bahasa orang dewasa. Jika teori Skinner benar, tentunya
anak tidak akan menghasilkan ujaran yang menurut orang dewasa tidak gramatikal
dan tidak berterima.
Ada dua hal yang menyebabkan metode
pandangan kaum behavioris ini semakin tidak populer baik di kalangan peneliti
maupun di kalangan pengajar bahasa. Pertama,
pendekatan pengajaran bahasa tidak ditunjang dengan data empirik yang kuat.
Hasil penelitian justru menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan asumsi
pendukung metode audio lingual. Hakuta
dan Cancino (1977) menyatakan bahwa belajar bahasa merupakan transfer kebiasaan
dan bahwa titik kritis permulaan belajar bahasa kedua bersumber dari bahasa ibu
itu tidak ditunjang oleh bukti yang teruji. Kedua,
peneliti itu mendapatkan bahwa kesulitan yang dialami oleh siswa bahasa Jepang
di dalam belajar bahasa Inggris tidak disebabkan oleh bahasa ibu mereka, yaitu
bahasa Jepang. Selain, kedua peneliti di atas, Pit Corder (1967), serta Heidi
Dulay dan Marina Burt (1974) menemukan bahwa tidak benar proses belajar bahasa pertama
berbeda dengan proses belajar bahasa kedua. Kedua peneliti yang disebut
terakhir ini mendapatkan bahwa proses belajar bahasa pertama tidak berbeda
dengan belajar bahasa kedua. Pendapat ini kemudian dikenal dengan nama
Hipotesis Konstruksi Kreatif (creative construction
hypothesis). Kesimpulan itu dikemukakan oleh Dulay dan Burt setelah kedua
peneliti tersebut mengklasifikasikan dan menghitung kesalahan yang dibuat oleh
pembelajar bahasa. Ternyata, dari kesalahan yang ada, hanya 4% kesalahan yang
disebabkan oleh pengaruh bahasa ibu siswa. Karena itu, menurut Dulay dan Burt,
tidak benar jika seluruh kesalahan pembelajaran bahasa kedua ditimpakan kepada
bahasa ibu mereka. Bahkan Selinker (1972, 1992) menyatakan bahwa bahasa siswa yang
disebutnya sebagai bahasa antara (interlanguage)
haruslah dianggap sebagai bahasa yang mempunyai ciri karakteristik tata bahasa
tersendiri (idiosyncracy), karena
ternyata bahasa siswa mempunyai ciri yang tidak mirip dengan bahasa sumber
maupun dengan bahasa sasaran. Oleh sebab itu, model mencari perbedaan dan
persamaan yang dipakai oleh para pendukung analisis kontrastif tidak cukup baik
untuk menerangkan bahasa antara. Diperlukan model yang lebih canggih yang mampu
menerangkan gejala belajar bahasa tersebut. Kedua, pada tahun itu muncullah
kritik Chomsky (1957) terhadap teori belajar bahasa yang dilontarkan oleh kaum
Behaviorisme tersebut, sebagaimana yang terjabar dalam teori pemerolehan Bahasa
Bawaan (Innatist Theory).
C.
Perkembangan Teori-Teori Belajar Bahasa
Pada awal 1960-an terjadi revolusi
di bidang bahasa dan pengetahuan bahasa yang sama-sama disepakati oleh ahli
bahasa dan ahli ilmu jiwa. Revolusi itu dipelopori oleh ahli ilmu bahasa dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat yang bernama Noam Chomsky.
Revolusi itu terjadi ketika Chomsky melontarkan pikirannya yang oleh
pendukungnya dinamakan sebagai Tata Bahasa Transformasi (Transformational Grammar) atau Tata Bahasa Generatif (Generative Grammar). Pikiran Chomsky ini
cepat diketahui orang karena Chomsky mengambil posisi bertentangan dengan B.F.
Skinner, pencetus teori Rangsangan-Respon-Ganjaran (R-R-G). Dalam bahasannya
yang terkenal, Chomsky (1964:549) menolak untuk menerima teori belajar Skinner,
khususnya bila teori tersebut diterapkan untuk belajar bahasa. Penolakan tersebut
didasari oleh keyakinan yang kuat dalam diri pencetus Tata Bahasa Generatif
ini, bahwa faktor "the specific
contribution of the organism" tidak dapat diabaikan perannya dalam
proses belajar bahasa. Lebih-lebih lagi, peran organisme itu amat kompleks
sehingga tidak cukup bila hanya diteliti dengan cara seperti yang dilakukan
oleh Skinner dan pendukung-pendukungnya selama ini. Chomsky menekankan tentang perlunya
diteliti karakter organisme dan kapasitas yang dimilikinya agar organisme itu
dapat digambarkan secara rinci. Dengan tegas Chomsky (1964:549) mengatakan
bahwa, "... the only hope of
predicting that begins by studying the detailed character of the behavior
itself and the particular capacities of the organism involved."
Salah satu dari faktor yang menyebabkan
pioner teori tata bahasa generatif ini menolak teori belajar bahasa aliran
behaviorisme ialah karena perilaku manusia itu amat kompleks. Oleh karenanya,
amat tidak memadai bila perilaku yang demikian kompleks itu hanya diteliti
secara kasar (gross), bersifat
permukaan saja (superficial), dan
penyimpulannya hanya bersifat spekulatif. Akhirnya, Chomsky berkesimpulan bahwa
Skinner telah gagal memerikan "the
logical problem of language acquisition" (Lightbown dan Spada,
1993:8). Dalam bahasannya tersebut, Chomsky menaruh perhatian khusus terhadap
kepesatan penguasaan bahasa yang dialami oleh anak-anak. Kemampuan mereka
menguasai kaidah bahasa dalam waktu yang relatif singkat, kemampuan menggunakan
bahasa seperti yang dipakai oleh orang-orang di sekelilingnya bahkan tanpa
diajari secara langsung sekalipun, mendorong Chomsky untuk sampai kepada perumusan sebuah
teori belajar bahasa, bahwa seseorang mampu belajar bahasa karena di dalam diri
manusia telah terdapat kapasitas belajar bahasa bawaan sejak lahir, yang
disebut "Language Acquisition Device
(LAD)". Keyakinan yang dianut oleh pendukung teori mentalis ini
menolak pandangan sebelumnya, bahwa belajar bahasa dapat dibentuk dari luar.
Belajar bahasa bukanlah semata-mata pembentukan kebiasaan, sebagaimana
dipercayai oleh kaum struktural. Chomsky (1975) mengemukakan bahwa logika yang menyatakan
bahwa keberhasilan belajar yang sebagaimana dikutip oleh Doughty dan Long
(2003), menegaskan bahwa seorang anak secara biologis telah diprogram untuk
menguasai bahasa atau bahasa-bahasa (endowed
language faculty), dan penguasaan itu berkembang seirama dengan
perkembangan biologis yang dialaminya. Pada perkembangan awalnya, kemampuan
berbahasa tidak perlu diajarkan. Sebagaimana anak memperoleh kemampuan
berjalannya, kemampuan berbahasa akan tumbuh ketika anak mulai dikenalkan
dengan bahasa tertentu yang dipakai oleh lingkungannya. Lebih jelas lagi,
Lenneberg (dalam Fodor dan Katz, 1964:596-597) menyatakan bahwa peristiwa
pemerolehan bahasa yang dicapai oleh seorang anak tidaklah terjadi secara acak.
Terdapat keteraturan yang dapat diamati dalam setiap jenjang perkembangannya.
Dinyatakannya bahwa, ... that the
development of speech does not proceed randomly, therecertain regularities that
characterize speech at certain stages of development, ...The constancy in language
developmental histories is merely an indirect cue for the deep-seated nature of
language predispositions in the child.
Pada awalnya, Chomsky (1959) berpendapat bahwa
kemampuan untuk belajar bahasa ini dimungkinkan oleh adanya peranti belajar
bahasa yang disebut dengan nama Language
Acquisition Device (LAD). Peranti itu diandaikan seperti kotak hitam
pesawat terbang yang terletak di suatu tempat di dalam otak manusia. Kotak
hitam itu diduga berisikan semua prinsip yang bersifat semesta bagi bahasa
manusia. Prinsip inilah yang dalam proses pembentukan kompetensi bahasa anak
berfungsi sebagai pengendali jalannya pemerolehan bahasa. Prinsip ini menuntun
anak agar ia tidak menghasilkan kaidah yang keliru, lebih-lebih lagi yang
berlawanan dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa yang sedang dipelajarinya tersebut.
Melihat karakteristiknya yang bersifat khas itulah, dalam tulisantulisan Chomsky
dan pendukungnya yang kemudian, peranti belajar bahasa itu tidak lagi disebut
sebagai LAD, melainkan sebagai Universal Grammar'
(untuk selanjutnya disebut dengan Tata Bahasa Semesta). Dengan Tata Bahasa
Semesta ini, maka yang akan dipelajari oleh anak selama proses pembentukan
kompetensi bahasanya berlangsung ialah bagaimana cara menerapkan prinsip umum
itu ke dalam bahasa yang sedang dipelajari (Chomsky, 1981; Hyam, 1986; Cook,
1988; White, 1989; dan Lightfoot, 1991). Dengan berbekal peranti belajar bahasa
yang berwujud Tata Bahasa Semesta inilah, seorang anak akan mampu belajar bahasa
apa saja, sebab dengan tata bahasa semesta yang dimilikinya itu anak tinggal
menyesuaikan kaidah yang ada di dalam benaknya (set parameter) dengan bahasa yang dipergunakan oleh lingkungannya.
Dengan peranti itu pulalah, kemajuan
yang dialami oleh anak yang belajar bahasa apa saja dan di mana saja ada dalam
tahap perkembangan yang relatif mirip. Inti dari tata bahasa semesta itu adalah
X dengan pengertian bahwa X adalah sebuah inti yang dapat tumbuh menjadi
konstruksi yang lebih besar dengan penambahan unsur yang Iain (kita sebut
sebagai Y). Kehadiran unsur X dan Y itulah yang merupakan tata bahasa semesta, sedangkan
bagaimana X dan Y itu diletakkan adalah merupakan ciri khas dari setiap bahasa.
Pengertian semacam inilah yang terkandung dalam ide parameter setting.
Seorang anak yang dilahirkan dan
kemudian dipajankan pada pemakaian bahasa Inggris dalam konteks alamiah,
misalnya, akan menyesuaikan tata bahasa semestanya dengan meletakkan kata a book (dari unsur Y) di sebelah kanan
inti read (dari unsur X), sehingga
anak yang baru belajar bahasa Inggris itu akan mengenal bahwa dalam bahasa Inggris
berlaku aturan inti lebih dahulu (head
first). Jika kaidah yang demikian itu sudah ditetapkan, maka setiap ada
kata kerja yang sejenis dengan read, misalnya buy, hit, write, secara otomatis dan konsisten
akan mendorong anak untuk mengaktifkan tata bahasa semesta yang sudah diset
sebelumnya itu dengan meletakkan objek untuk kata kerja transitif buy, hit,
write, di sebelah kata kerja
tersebut. Dengan kaidah itu anak akan membuahkan tuturan dua kata seperti buy candy, hit ball, write daddy,
dan sebagainya.
Berbeda halnya dengan anak yang
berasal dari lingkungan berbahasa Inggris, anak dengan latar belakang
lingkungan berbahasa Jepang akan menyesuaikan tata bahasa semestanya dengan
meletakkan unsur Y di sebelah kiri X. Untuk selanjutnya anak akan mengetahui
bahwa dalam bahasa Jepang berlaku prinsip head
last, atau inti berada di belakang, karena anak-anak Jepang sejak
dilahirkan dipajankan pada
struktur
tuturan seperti berikut ini.
E
wa kabe ni kakatte imasu.
gambar dinding pada tergantung
Dalam kalimat bahasa Jepang di atas,
verba kakatte imasu (tergantung) mengambil
posisi di belakang Frasa Verbanya, sedangkan ni (pada) terletak di belakang Frasa Depannya. Pajanan seperti ini
akan mendorong anak yang memperoleh pajanan tersebut mengeset tata bahasa semestanya,
yaitu dengan meletakkan ‘inti’ di belakang komplemennya, sebab anak Jepang,
melalui pajanan yang intensif, melalui intuisi bahasanya menangkap bahwa bahasa
Jepang adalah head-last; atau, mengambil istilah Cook (1988:7), inti diletakkan
di sebelah kanan (headright, tidak di
sebelah kiri (head-left) seperti yang
dilakukan oleh anak-anak yang dipajankan pada bahasa Inggris.
Pandangan yang sedikit berbeda tentang
peristiwa belajar bahasa secara alamiah diberikan oleh teori kemampuan bahasa
bawaan. Teori ini berpandangan bahwa struktur biologis dan mekanisme belajar
bahasa yang secara khusus hanya dimiliki oleh manusia (specific language learning mechanism). Diri pembelajar bahasa
memegang peranan penting dalam proses belajar bahasa. Pandangan ini bertolak
belakang dengan pandangan kaum behavioris yang menyatakan bahwa struktur dan
isi lingkunganlah yang menentukan keberhasilan belajar bahasa. Pandangan yang
kontradiktif ini dikenal sebagai pertentangan antara nature dan nurture.
Kemampuan belajar bahasa bawaan yang
dimiliki oleh manusia secara genetik telah diprogram secara sama dengan kemampuan untuk berjalan. Language Acquisition Device (LAD) di
dalam otak manusia memungkinkannya untuk mempelajari bahasa manusia. Alat
tersebut berlaku semesta, seperti yang dinyatakan oleh Larsen-Freeman dan Long (1994:228)
bahwa "... humans are innately (i.e.
genetically) endowed with universal language-specific knowledge".
Pengetahuan yang oleh Chomsky tersebut dengan istilah Universal Grammar (Tata
Bahasa Semesta), subhanallah, semua manusia normal sejak lahir sudah memiliki kemampuan
untuk mempelajari bahasa apa saja. Di mana saja ia dilahirkan dan siapa saja
yang melahirkan tidak menghalangi seorang anak untuk menguasai bahasa yang
digunakan oleh lingkungannya tersebut. Dengan demikian, jika ada seorang bayi
di lahirkan di Amerika, ia akan menggunakan kemampuan bawaannya untuk menguasai
bahasa Inggris Amerika. Jika seandainya bayi dari orang tua yang sama itu dilahirkan
di salah satu daerah di Indonesia, maka ia akan belajar menguasai bahasa daerah
di tempat dia dilahirkan tersebut. Dengan sengaja teori ini membandingkan
kemampuan belajar bahasa dengan kemampuan belajar berjalan. Orang tidak pernah bertanya-tanya
mengapa seorang bayi yang sudah berusia kurang lebih 10 bulan akan belajar
berjalan. Begitu pun dengan kemampuan belajar bahasa.
Pada usia kira-kira 24 bulan, anak
sudah mulai belajar berbicara, belajar mengucapkan sepatah-dua kata. Kedua
kemampuan yang secara bertahap dikuasai oleh anak ini terjadi tanpa ada yang
mengajarinya. Pada usia yang seakan-akan sudah diprogram secara biologis itu
anak akan belajar berbicara (Clark dan Clark, 1977; Menyuk, 1988). Pada saat
itu lingkungan hanya berfungsi sebagai pemberi masukan, atau menurut istilah
Lightfoot sebagai pemicu (trigger)
dan kemampuan belajar-bahasa bawaan yang dimiliki oleh anak itulah yang
mengolah masukan tersebut menjadi ujaran yang memiliki struktur dan makna yang
khas. Kemampuan belajar bahasa bawaan yang dimiliki anak sejak lahir itulah
yang sepenuhnya menentukan bunyi apa yang dikuasai lebih dahulu, frasa dan kalimat
yang bagaimana yang bisa digunakan lebih dahulu, dan sebagainya. Lingkungan
tidak mempunyai daya untuk memaksa anak mengucapkan dan menggunakan ujaran tertentu.
Tidak ada seorang pun yang mampu memaksa anak menghasilkan kalimat-kalimat
tertentu sebelum otak anak itu sendiri mampu memproduksi kalimat yang dimaksudkan.
Penganut aliran Chomsky menyatakan bahwa masukan bahasa tidak berperan apa-apa
dalam menggerakkan Tata Bahasa Semesta yang telah dibawa anak sejak lahir. Untuk
itu ada beberapa alasan yang dilontarkan untuk memperkuat pikiran tersebut
(Chomsky, 1965; Fodor, 1966). Masukan bahasa yang diterima oleh anak mempunyai
cacat performansi, seperti munculnya ujaran yang diucapkan secara tidak lengkap
(fragments), salah ucap, dan faktor
komunikasi yang menyebabkan kaidah bahasa yang digunakan menjadi kurang
sempurna.
Alasan kedua, dan ini dianggap
sebagai alasan yang lebih penting, bahwa masukan bahasa yang diterima oleh anak
sangat tidak cermat dalam banyak hal. Masukan bahasa yang diterima dari
orang-orang di sekitarnya lebih banyak memperhatikan tersampaikannya isi, bukan
koreksi bentuk bahasa (Brown-Hanlon, 1970; Hirsh-Pasek, Treiman, dan
Schneiderman, 1984). Karenanya, masukan bahasa tersebut tidak akan mampu menyediakan
negative evidence yang membuatnya
tahu apa yang boleh diucapkan dan apa yang tidak dapat digunakan apabila dia
mempelajari bahasa tertentu. Dari sinilah, kita bisa mengetahui bahwa masukan
bahasa itu tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai sumber belajar bahasa, karena
sumber itu bersifat tuna-pemicu (the
poverty of stimulus) (Lightfoot, 1999:51). Harus ada sumber lain yang lebih
utama, yaitu Tata Bahasa Semesta yang dibawa oleh anak yang bersangkutan sejak
lahir. Tata bahasa Semesta ini, dalam bahasa-bahasa di dunia, mengandung kesamaan
absolut, nosi, dan prinsip-prinsip. Akan tetapi, menurut Haegeman (1991:14-15),
masing-masing bahasa mempunyai perangkat khusus (language-specific properties) yang menjadi ciri khas yang membedakan
antara bahasa satu dengan yang lainnya.
D.
Kaidah dan
Ciri Khas Bahasa
Keberadaan Tata bahasa Semesta ini
mendorong Steven Pinker (1999: 333-334) menyebut kemampuan manusia yang agung itu sebagai Language Instinct. Ia pun mempertegas
pernyataan Chomsky dan para penentangnya yang setuju terhadap satu hal, bahwa
kemampuan bahasa yang bersifat instingtif dari manusia bukanlah kemampuan yang
tumbuh akibat akumulasi gradual mutasi genetik yang bersifat random yang bertumbuh
dari generasi ke generasi. Karena itu, Pinker (1999:334) dengan tegas menolak
teori evolusi Darwin melalui pernyataannya bahwa sistem bahasa manusia terlalu
kompleks jika dibandingkan dengan bahasa komunikasi binatang, termasuk di dalam
primata. Pinker menyatakan bahwa sistem otak pengontrol bahasa primata sangat berbeda
dengan sistem otak pengontrol bahasa manusia. Sistem otak primata dikontrol
oleh sistem limbik yang secara filogenetis lebih tua daripada struktur neural.
Adapun sistem otak yang mengontrol produksi bahasa manusia dikontrol oleh
bagian otak yang disebut dengan cerebral cortex,
khususnya daerah perisylvia bagian kiri.
Bahasa manusia mengandung
seperangkat kaidah (set of rules)
yang disebut dengan Tata bahasa Generatif, yakni sistem yang tidak biasa, tidak
alamiah, sebab bahasa manusia dikendalikan oleh discrete combinatorial system, yang memiliki 3 (tiga) ciri utama,
yaitu: (1) tidak berbatas (infinite):
dengan menguasai kaidah tata bahasa yang terbatas, manusia bisa menghasilkan
bentukan kata dan kalimat yang tidak berbatas jumlah dan macamnya, (2) digital,
yaitu ketidak- berbatasan bentukan kata dan kalimat yang dilakukan oleh otak
manusia tersebut dicapai dengan menggabungkan dan menyusun kembali unsur-unsur bahasa
dengan kaidah dan urutan tertentu, dan (3) komposisional, yaitu sifat kekayaan
makna yang diperoleh dari masing-masing bentukan, baik makna yang dapat
diprediksi dari masing-masing bagian, dari kaidah pembentukan yang digunakan,
dan dari prinsip-prinsip penyusunan masing-masing bentuk kata dan kalimat. Samsuri
(1985) memberikan contoh yang sangat jelas tentang berlakunya ketiga ciri khas
bahasa manusia. Dalam bahasa Indonesia, penutur asli bahasa Indonesia akan
menghasilkan Frasa Nomina seperti:
a.
Rencana
b.
Rencana induk
c.
Rencana induk proyek
d.
Rencana induk proyek perbaikan jalan
e.
Rencana induk proyek perbaikan jalan jalan-lingkar
f.
Rencana induk proyek perbaikan jalan jalan-lingkar yang dibangun dengan dana
APBD tahun anggaran 2010
Frasa Nomina a sampai dengan f di
atas, dari yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks, mampu dibuat
oleh penutur bahasa Indonesia sejalan dengan pertumbuhan kemampuan
berbahasanya. Contoh tersebut memperlihatkan bahwa penutur bahasa akan mampu membuat
kalimat yang tidak terbatas jumlah dan macamnya berdasarkan kaidah bahasa yang
jumlahnya terbatas yang telah dikuasainya. Pinker (1999:347) menjelaskan lebih
jauh tentang kelebihan bahasa manusia. Ahli bahasa dan pikiran berkebangsaan
Amerika tersebut mempertegas posisi kepenolakannya terhadap teori Evolusi
Darwin dengan menunjukkan kelebihan bahasa manusia atas binatang, dan kemudian
disimpulkannya bahwa bahasa manusia memiliki ciri-ciri yang tidak pernah tampak
dalam perilaku binatang, yaitu:
(1)
kemampuan membuat referensi;
(2)
penggunaan simbol untuk menggantikan
tempat dan waktu dari referensi yang dibuat sebelumnya;
(3)
kreativitas bahasa;
(4)
menggunakan urutan secara tepat;
(5)
memahami ujaran secara kategoris;
(6)
penggunaan struktur yang dilakukan
secara hirarkhis;
(7)
penggunaan kaidah secara rekursif untuk menghasilkan bentukan yang sama
strukturnya dengan kandungan makna yang berbeda;
(8)
penyusunan kalimat baru (novel sentence), bahkan kalimat yang belum
pernah diajarkan dan didengarkan sekali pun.
E.
Persyaratan Dalam Berkomunikasi
Akan menarik apabila kompetensi
bahasa, kemampuan manusia yang menjadi pembeda dirinya dengan binatang itu
dilihat dari pemanfaatannya dalam berkomunikasi. Mengapa demikian? Karena bisa berbahasa
saja tidak cukup. Seorang komunikator atau penyampai pesan, dalam
berkomunikasi, harus memenuhi beberapa persyaratan komunikasi efektif.
Pengirim pesan/penyampai pesan
merupakan sumber informasi dan sekaligus sebagai pemulai (inisiator) proses komunikasi. Sebelum ia menyampaikan pesan kepada
orang lain, tentu ia harus memilih pesan yang harus disampaikan dan saluran
yang hendak digunakan untuk menyampaikan pesannya. Pengirim pesan harus mampu
menerjemahkan pikiran atau perasaannya yang akan disampai kepada penerima
pesan, baik dalam bentuk bahasa lisan maupun bahasa tulis.
Hellriegel, Jackson, dan Slocum
(2005: 450) menyebutkan ada 5 macam persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang komunikator:
1.
Relevan. Buatlah pesan yang akan
disampaikan itu mengandung makna (meaningful)
dan signifikan. Untuk mencapai kedua hal tersebut, seorang komunikator harus
mampu menyeleksi katakata, simbol-simbol, dan kalimat yang akan mewadahi
pesannya.
2.
Ringkas
(simplicity). Gunakan kata-kata atau
peristilahan yang ringkas dan jelas. Kurangi penggunaan kata/peristilahan dan simbol-simbol
yang tidak umum yang pada gilirannya dapat mengurangi kejelasan pesan, pikiran,
dan perasaan yang akan disampaikan.
3.
Organisasi.
Susunlah pesan dalam kerangka yang jelas kaitannya satu sama lainnya. Selesaikan
uraian satu poin sebelum berpindah ke poin yang lain. Penyusunan pesan yang
demikian itu akan dapat memudahkan penerimaan dan pemrosesan pesan.
4.
Pengulangan.
Ulangi pernyataan penting setidak-tidaknya dua kali, terutama dalam dalam komunikasi
lisan, karena kata yang diucapkan tidak terdengar dengan baik.
5.
Fokus.
Pusatkanlah penyampaian pesan pada inti pesan. Mulailah dengan pesan inti lebih
dahulu, kemudian ikuti pesan inti tersebut dengan penjelasan. Hindari uraian
yang tidak terkait dengan pesan inti tersebut. Juga, harus dihindari pemberian
ilustrasi yang berlebihan yang dapat mengaburkan pesan utama yang hendak
disampaikan.
Selain kelima persyaratan komunikasi
efektif di atas, seorang penyampai pesan harus tahu saluran yang bagaimana yang
mampu menyampaiakn informasi secara efektif dan efisien. Menurut pendapat Hellriegel,
Jackson, dan Slocum (2005: 457) membuat visualisasi derajat keefektifan saluran
komunikasi seperti berikut (lihat Gambar
1).
SALURAN INFORMASI KEKAYAAN INFORMASI
Diskusi tatap muka
Tertinggi
Percakapan
menggunakan telepon
Tinggi
Surat/memo yang
disampaikan Menengah
secara pribadi
Surat/dokumen
atau disampaikan
Rendah
dalam bentuk e-mail
atau buletin untuk umum
Dokumen laporan
berisi angka
Paling rendah
atau budget
Gambar 1.
Keselarasan tingginya derajat informasi dengan jenis saluran yang seharusnya digunakan
Dari visualisasi tersebut tampak
jelas bahwa seorang komunikator perlu mengetahui dua hal, yaitu derajat
ketinggian informasi yang hendak disampaikan dan saluran informasi yang harus
digunakan ketika hendak menyampaikan informasi tersebut. Tanpa pengetahuan
tentang kedua hal pokok dalam berkomunikasi tersebut mustahil seorang
komunikator mencapai tujuan komunikasi secara efektif dan efisien.
F.
Kedudukan Pembelajaran Bahasa di Dalam Kelas
Jika kita beranjak dari teori belajar
bahasa Krashen (1981; 1982), telah kita kenal adanya dikotomi cara belajar
bahasa, yaitu pemerolehan (acquisition)
dan pembelajaran (learn). Pemerolehan
bahasa terjadi secara alamiah dan di bawah sadar anak dan tanpa adanya
intervensi dari lingkungan anak, sedangkan pembelajaran terjadi secara sengaja
di lingkungan yang diciptakan oleh orang dewasa di sekitar anak. Akan tetapi
kemudian muncul pendapat berbeda. Ahli pembelajaran bahasa seperti Bialystok
(1976) merevisi pandangan Krashen dengan menyatakan bahwa pembelajaran bahasa
tidak saja terjadi secara alamiah, meainkan juga terjadi di dalam lingkungan
yang tidak alamiah, yaitu pembelajaran bahasa di dalam kelas. Dikatakan
berlangsung tidak alamiah karena segala sesuatunya dipersiapkan: kondisi
belajar, materi yang diajarkan, ukuran keberhasilan belajar, proses
pembelajaran kesemuanya diatur untuk mencapai tujuan pembelajaran, yaitu mampu memahami
tuturan yang datang dari luar pebelajar, dan mampu menghasilkan tuturan yang
dapat dipahami oleh lawan tutur.
Secara konvensional, pembelajaran
bahasa di dalam kelas dapat didefinisikan sebagai terjadinya perilaku kognitif
di dalam ruang kelas dengan guru sebagai pusat kegiatan belajar dan siswa kebanyakan
mengambil posisi atau diposisikan sebagai pihak yang pasif (Krashen, 1981;
1982). Guru kurang memperhatikan kegiatan tukar-menukar informasi antara
guru-siswa, siswa-guru, atau pun siswa-siswa. Dengan kondisi pembelajaran yang
demikian, fungsi komunikatif pembelajaran bahasa dalam kelas tidak tercipta,
karena, menurut Krashen (1982) input tidak menghasilkan intake.
Sehubungan dengan pembelajaran
bahasa di dalam kelas, Bialystok (1976) memberikan penafsiran ulang sumbangan
pembelajaran dalam kelas terhadap pemerolehan bahasa sebagaimana tergambar
dalam skema berikut.
Gambar 2.
Sumbangan jenis pengetahuan, kondisi pembelajaran dalam kelas, dan sumbangannya
terhadap pemerolehan bahasa menurut Bialystok.
Secara lebih sederhana, skema
Bialystok tersebut dapat divisualisasikan dengan gambar 3 berikut. Pada gambar
di bawah ini terlihat bahwa baik pengetahuan yang diberikan secara langsung (pengetahuan
eksplisit) oleh guru/dosen, atau pun pengetahuan yang diserap secara tidak
langsung dari sumber bacaan, mengamati cara guru/dosen menerangkan atau
memperlihatkan media pembelajaran (pengetahuan implisit), kedua-duanya
memberikan kontribusi bagi pertumbuhan pengetahuan siswa, begitu juga terhadap
pertumbuhan bahasanya. Dengan demikian, pengetahuan eksplisit yang disajikan
oleh guru/dosen, begitu juga sumber-sumber bacaan atau sumber pembelajaran
lainnya tidak boleh disiapkan secara sederhana, karena, jika itu terjadi,
dampak yang akan diterima oleh siswa, baik bagi pertumbuhan pengetahuannya maupun
pertumbuhan bahasanya, tidak akan maksimal.
Gambar 3.
Hubungan langsung/tidak langsung pengetahuan eksplisit dan implisit terhadap
pemerolehan bahasa
Pada Gambar 3 di atas, Paradowski menyederhanakan skema Bialystok
menjadi dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan eksplisit dan implisit.
Selanjutnya, bertolak dari skema Bialystok di atas, Paradowski (2007) menjelaskan
pengetahuan eksplisit dan implisit tersebut dalam bentuk tabel dikotomis
berikut.
PENGETAHUAN
EKSPLISIT
|
PENGETAHUAN
IMPLISIT
|
Dipelajari
Secara sadar
Teranalisis
Metalingual
Teramati
Penggunaannya
terkontrol
Berupa pengetahuan
deklaratif
|
Diperoleh
Bawah sadar,
Terinternalisasi
Tidak Teranalisis
Intuitif
Tersembunyi
Penggunaannya
spontan, otomatis
Berupa pengetahuan
prosedural
|
Tabel 1. Pengetahuan
Eksplisit dan Pengetahuan Implisit
Jika diamati dengan cermat, ternyata
Paradowski (2007) melangkah lebih jauh dalam menafsirkan tata alir pembentukan
pengetahuan dalam diri siswa. Di dalam kolom di atas dapat dibaca bahwa salah
satu pengetahuan yang termasuk ke dalam pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan
deklaratif, sedangkan yang masuk ke dalam pengetahuan implisit adalah
pengetahuan prosedural. Penjelasan Paradowski tersebut amat penting bagi
pembelajaran dalam kelas yang bertujuan untuk mencapai pemerolehan bahasa.
Sebagaimana dapat dibaca dari skema Bialystok di
atas, kita tahu betapa penting kedudukan pembelajaran di dalam kelas bagi
proses pembentukan pengetahuan siswa. Karena itu, pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana menyiapkan pengetahuan yang dapat mewujudkan pemerolehan bahasa melalui
pengetahuan yang didapatkan oleh siswa di dalam kelas?
Darling-Hammond (2008: 2) mengingatkan
kita tentang apa dan bagaimana menyiapkan pengetahuan generasi mendatang dengan
pernyataannya sebagai berikut:
...,
effective education can no longer be focused on transmission of pieces of
information that, once memorized, constitute a stable storehouse of knowledge.
Education must help students learn how to learn in powerful ways, so that they
can manage the demands of changing information, technologies, jobs, and social
conditions.
Mengutip Good dan Brophy (1986),
Darling-Hammond (2008: 2) kemudian menegaskan bahwa ilmu keguruan yang
diperlukan bukanlah pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan menghafalkan
fakta terpisah-pisah dan pengetahuan dasar yang bersifat stabil, sehingga guru acapkali
menganggap siswa adalah gudang pengetahuan yang tidak memiliki otoritas untuk
memodifikasi, mengolah, mengembangkan, bahkan menolak informasi yang masuk ke
dalam memori dalam otaknya.
Pembelajaran yang sangat mendesak untuk
generasi yang akan datang adalah pembelajaran yang memampuan siswa mengelola
perubahan dan perkembangan informasi, teknologi, tuntutan lapangan pekerjaan, perubahan
kondisi sosial.
G.
Karakteristik dan Pola Pembelajaran
Bahasa di Dalam Kelas
Untuk mewujudkan pemerolehan bahasa
di dalam kelas, menurut pikiran Bella Banathy (1980) yang dikutip oleh Marzano
(1992), bahwa pembelajaran terletak dalam hubungan antara proses mengajar dan
belajar. Dengan tegas Banathy mengatakan bahwa pengajaran yang efektif akan
membawa dampak yang sangat besar terhadap pembelajaran. Oleh sebab itu, Marzano
(1992:2) menegaskan bahwa tindakan paling penting dalam melakukan restrukrisasi
dan reformasi keguruan adalah mereformasi proses pembelajaran dan tindakan yang
terkait dengan, yaitu perencanaan, perancangan kurikulum, dan asesmen/penilaiannya.
Selanjutnya, Stephanie Pace Marshall, Presiden ASCD dalam pendahuluan buku
Marzano (1992) tersebut menyatakan bahwa pembelajaran di dalam kelas akan
bermakna jika pembelajaran dapat memberikan dukungan penuh bagi munculnya genuine understanding yang dapat
menumbuhkan berpikir kreatif dan etis dalam diri siswa.
Untuk merealisasikan pikiran-pikiran
yang bertujuan membangun keberhasilan belajar yang berakar kuat dan berumur
panjang (long-lasting success in our
classroom), Marzano (1992:14-15) menyarikan hasil penelitian dan pemikiran
ahli teori belajar seperti Ennis (1987), Costa (1991), Perkins (1984), Flavel (1976)
dan Amabile (1983) dengan menyebutkan 5 karakteristik ciri mental siswa yang
perlu diwujudkan dalam pembelajaran, yaitu:
a) Sensitif
terhadap masukan atau umpan balik;
b) Mengutamakan
keakuratan dan ketepatan;
c) Bekerja
keras mencari jawab atau jalan pemecahan masalah meskipun untuk memperolehnya
tidak mudah;
d) Memandang
pesoalan atau situasi dari sudut pandang yang berbeda;
e) Menghindari
sikap tergesa-gesa dan emosional.
Sehubungan dengan pembelajaran
bahasa, Allwright (1984:156), sebagaimana dikutip oleh Ellis (1994: 565)
menyatakan bahwa pembelajaran merupakan ‘the
fundamental fact of classroom pedagogy’. Mengapa Allwright berpendapat
demikian? Alasan utamanya adalah karena di dalam kelas terjadi interaksi
langsung antara manusia yang berada di dalam kelas, yaitu komunikasi langsung antara
guru—siswa, siswa—siswa, dan siswa—guru. Komunikasi tersebut amat besar
pengaruhnya terhadap terjadinya interaksi/input di dalam proses belajar bahasa
ke dua, yaitu bahasa Indonesia.
Kita perlu memikirkan bagaimana
menghadirkan pengetahuan deklaratif dan prosedural di dalam kelas yang digagas
oleh Paradowski (2007) di atas dalam rangka menunjang terwujudnya pemerolehan bahasa
di dalam kelas. Marzano dkk. (1992:40-112) memaparkan tentang pembelajaran
pengetahuan deklaratif dan prosedural. Informasi deklaratif dapat dikelola dengan
menggunakan salah satu dari enam pola organisasi baku seperti berikut:
a. Pola-pola deskriptif.
Siswa dapat diajak mengelola fakta-fakta
atau karakteristik tentang orang, tempat, benda, dan peristiwa tertentu. Dalam
pembelajaran, mereka dapat diminta untuk mengenali dan mengorganisasikan fakta
serta mengidentifikasi karakteristik yang tidak beraturan. Misalnya, setelah
menonton film tentang Empire State
Building, mereka diminta untuk mengumpulkan dan mengorganisasi informasi tentang
kapan pencakar langit itu dibangun, ketinggiannya berapa, berapa banyak ruangannya,
siapa tokoh yang memegang peran penting dalam pembangunan gedung tertinggi di
dunia tersebut, dsb. Dalam pembelajaran, guru dapat membimbing siswa untuk
menyusun informasi yang mereka kumpulkan dalam bentuk pola deskriptif sederhana
seperti lambang grafis berikut ini.
b. Pola-pola urutan.
Siswa dilatih untuk mengelola peristiwa-peristiwa
dalam urutan kronologis tertentu, misalnya, setelah membaca 4 (empat) novel
Andrea Hirata, pembelajar diminta menyusun secara kronologis kisah percintaan
Ikal dengan A Ling, mulai dari perjumpaan pertama Ikal dengan gadis bermata
sipit di tempat Ikal biasa membeli kapur tulis sampai ke gagalnya Ikal mempersunting
gadis yang menambat hatinya itu karena ayah Ikal tidak mau putranya memperistrikan
perempuan yang tidak seagama. Peristiwa 1, 2, 3, n dapat diidentifikasi dan
disusun dengan pola urutan dalam lambang grafis berikut:
c. Pola-pola proses/sebab.
Menyusun informasi menjadi jaringan
sebab-akibat yang mengarah pada keluaran tertentu atau menjadi runutan langkah-langkah
yang mengarah pada hasil tertentu. Contoh, informasi tentang
peristiwa-peristiwa yang mengarah pada Perang Sipil dapat disusun sebagai pola proses/sebab
seperti visualisasi berikut.
d. Pola-pola masalah/ solusi.
Menyusun informasi menjadi masalah yang dikenali
dan menemukan solusi yang mungkin diambil. Contoh, informasi tentang beragam
tipe kesalahan diksi yang dapat terjadi dalam sebuah esai dan bagaimana
mengoreksi kesalahan ini dapat disusun sebagai pola masalah/solusi seperti pada
gambar berikut.
Ikal terpesona oleh kuku A Ling yang
rapi ketika gadis itu memberikan kotak kapur Ikal tahu apa jawaban lelaki di
hadapannya itu ketika ia meminta izin untuk melamar A Ling, meskipun tak satu
katapun keluar dari mulutnya.
e. Pola-pola generalisasi.
Menyusun informasi menjadi generalisasi
dengan contoh-contoh pendukung. Contoh, pernyataan: ‘Presiden AS seringkali berasal
dari keluarga-keluarga yang memiliki kekayaan atau pengaruh besar’ merupakan
generalisasi. Pola tersebut divisualisasikan sebagai berikut:
f. Pola-pola konsep.
Mungkin yang paling umum dari semua pola
yang ada. Seperti halnya pola-pola deskriptif, pola konsep ini berkaitan dengan
orang, tempat, dan peristiwa, namun bukan orang, tempat, benda, dan peristiwa
khusus, melainkan sebagai kelas atau kategori. Pola-pola konsep dapat
dilambangkan secara grafis sebagai berikut:
H.
Langkah-Langkah Mewujudkan Pemerolehan Bahasa Dalam Kelas
Marzano dkk. (1992:62-65) menunjukkan
langkah-langkah yang jelas untuk mengajarkan pengetahuan prosedural.
Langlah-langkah yang dimaksud dipaparkan berikut ini.
1.
Berpikir dengan cara dilisankan/ dituliskan (thinking aloud).
Berpikir dengan dilisankan atau dituliskan adalah teknik
memberitahukan kepada orang lain untuk tahu apa yang sedang kita pikirkan,
rancang, atau analisis. Rowland dan Reigeluth (dalam Plomp dan Ely, 1996:121-2)
menjelaskan tentang pentingnya kegiatan berpikir yang dilisankan/dituliskan ini
dengan menyatakan bahwa “… think-aloud
protocols give at least partial evidence of the thought processes performers
engage in during the performance of the task.” Dengan demikian, keseluruhan
proses dari rencana kerja yang ada di dalam pikiran seseorang harus dipaparkan
secara gamblang.
Terkait dengan berpikir yang dinyatakan secara lisan atau tertulis
ini, Marzano (1992:62-65) menjelaskan bahwa cara tersebut merupakan teknik sederhana
namun kuat untuk membangun model awal. Berpikir dengan cara ini melibatkan
pengungkapan pikiran siswa ketika ia menunjukkan keahlian atau proses.
Dalam KTSP bahasa Indonesia untuk SMP kelas IX, misalnya,
terdapat KD 11.2: Mengubah sajian grafik, tabel, atau bagan menjadi uraian melalui
kegiatan membaca intensif. Oleh karena sebagian siswa ada yang lebih menyukai
seperangkat langkah tertulis, di bawah ini disajikan seperangkat langkah yang
mendeskripsikan bagaimana membaca grafik batang melalui teknik berpikir
dituliskan:
a) Baca
judul grafik. Pahami informasi yang ada di dalamnya.
b) Perhatikan
garis mendatar di bagian bawah grafik. Kenali apa yang diukur.
c) Perhatikan
garis tegak di sisi kiri. Apa yang diukur? Perhatikan skala yang digunakan.
d) Untuk
masing-masing unsur yang diukur pada garis mendatar, kenali ‘ketinggian’nya
pada garis tegak dan artikan ketinggian tersebut sesuai dengan angka yang
terdapat pada garis tegak.
e) Buat
pernyataan keadaan yang meringkas informasi penting tentang jumlah,
perbandingan jumlah angka yang berbeda pada tahun yang berbeda, dan kesimpulan
tentang informasi dalam grafik batang dengan kalimat efektif.
2.
Ajari siswa untuk membuat diagram alur.
Diagram
alur (flow chart), menurut Rosset dan
Gautier-Downes (1991) (dalam Plomp dan Ely, 1996:135) sangat tepat digunakan
apabila siswa diarahkan pada pengambilan keputusan yang sifatnya dua arah (binary
decisions) yang kemudian secara bertahap membimbing siswa untuk secara kronologis
memutuskan untuk mengambil 1 (satu) keputusan yang terbaik. Romiszowski
(1988:71) sebagaimana dikutip oleh Criticos (dalam Plomp dan Ely, 1996:183)
memberikan contoh penggunaan diagram alur dalam pemilihan media pembelajaran,
yakni dengan menyajikan serangkaian pertanyaan, mulai dari pertanyaan umum
sampai ke pertanyaan khusus yang membimbing perancang pembelajaran dan perancang
media pembelajaran dapat memilih media pembelajaran yang paling layak
digunakan.
Untuk mengajarkan pengetahuan prosedural, diagram alur
dianggap merupakan salah satu cara paling kuat dalam membantu siswa membangun
model untuk keahlian dan proses yang mereka pelajari (Marzano dkk.
(1992:62-50). Dalam pelaksanaannya, siswa terlebih dulu harus melihat keahlian
atau proses yang ditunjukkan, kemudian mereka ditugasi menggambarkan peristiwa tertentu
dalam bentuk diagram alur. Setelah memperoleh pengalaman tersebut, siswa harus
membuat representasi visual yang menjelaskan bagaimana langkah-langkah dalam
diagram alur tersebut terkait antara langkah satu dengan lainnya, selanjutnya,
siswa diminta mempresentasikannya di dalam kelompok atau di depan kelas. Dengan
pengalaman dan kondisi seperti inilah pemerolehan bahasa di dalam kelas memperoleh
dukungan yang sangat kuat untuk terwujud.
Membangun cara berpikir merupakan
bagian penting dalam pembelajaran kemampuan berbahasa, karena berbahasa itu
juga berpikir. Salah satu hal penting yang semestinya dirancang dalam
pembelajaran kemampuan berbahasa adalah bagaimana menyajikan kegiatan pembelajaran
yang menjadikan para siswa kita sebagai strategic
knowledge constructor. Mengapa demikian? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
menarik sekali untuk mengutip pernyataan Resnick dan Collins (dalam Plomp dan
Ely, 1996:48-9) yang menyatakan bahwa “Expert learners are strategic
knowledge constructers.” Bagaimana mewujudkan pikiran Resnick dan Collins
tersebut? Jawabnya adalah mengajari dan melatih siswa untuk melakukan
langkah-langkah dalam keahlian atau proses secara mental. Model
keahlian atau proses dapat diperkuat melalui latihan mental yang
dilakukan dengan cara mengulas langkah-langkah yang hendak dilakukan di
dalam pikiran tanpa mewujudkannya menjadi tindakan yang sebenarnya.
Misalnya, guru dapat meminta siswa membayangkan langkah-langkah yang
harus mereka lakukan ketika menyusun cerita
pendek
dengan teknik kolase. Setelah membayangkan peristiwa-peristiwa yang akan
dihadirkan ke dalam cerpen mereka, mereka diminta duduk berpasangan untuk
membandingkan proses penyusunan cerita dengan teknik kolase yang hadir bayangan
mereka. Selanjutnya, guru membagi potongan-potongan kertas yang berisi potongan-potongan
peristiwa yang diambil dari sebuah cerpen, potongan puisi, lagu, dan berita
surat kabar. Setelah itu, guru meminta para siswanya untuk mempraktikkan
diagram
alir
peristiwa-peristiwa cerita pendek yang telah dipikirkannya.
Langkah mewujudkan pemerolehan
bahasa dalam kelas berikutnya adalah mengasah pengetahuan prosedural siswa.
Sehubungan dengan hal ini, Tennyson (dalam Plomp dan Ely, 1996:54) mengutip
pendapat Tennyson dan Rasch (1988) yang menjelaskan bahwa pengetahuan
prosedural ini berada dalam wilayah ingatan jangka panjang (Long Term Memory).
Dinyatakannya bahwa “Within long-term memory there are various types of conceptual
knowledge: declarative, procedural, and contextual.”
Membangun model awal untuk keahlian
atau proses baru adalah langkah pertama dalam mempelajari pengetahuan
prosedural. Setelah mempergunakan keahlian atau proses tersebut, siswa-siswa dibimbing
untuk mengubah model awal yang sudah disusunnya dengan cara menemukan apa yang
berfungsi dan tidak. Melalui pembimbingan, siswa diajak untuk menambahkan beberapa
hal yang diperlukan atau menanggalkan sebagian lainnya yang dianggap tidak
diperlukan. Dalam latihan, misalnya,
guru dapat melatih siswanya menyunting esai untuk menemukan kesalahan diksi
dengan cara berpikir bersuara. Ketika menemukan “kejanggalan”, mereka diminta
menayangkan hasil suntingannya ke layar sambil berkata, “Teman-teman, tolong
perhatikan ke layar! Pronomina manakah yang tepat saya gunakan di sini ‘kamu’
ataukah ‘pembaca’? Jika digunakan kata ganti ‘pembaca’, apakah harus pronomina itu
dipergunakan terus-menerus, atau bisa menggunakan kata ganti atau kata sapaan
lain?
Salah satu bagian penting dalam menguasai
pengetahuan prosedural yaitu memberitahukan kesalahan yang dilakukan oleh
siswa. Guru dapat menunjukkan kesalahan dan kekeliruan umum ini atau ia dapat menunjukkan
kesalahan ketika siswa melakukannya, baik secara individual atau pun kelompok
dalam bentuk pemberian tutorial atau pun dalam pembahasan yang dilakukan secara
klasikal.
Prof. Eugenius Sadtono pernah membahas cara tepat bersikap formal
sebagai tamu di Jepang. Sebagai guru bahasa asing, beliau menunjukkan beberapa
kesalahan umum yang dilakukan oleh orang Amerika, khususnya ketika bertamu. Orang
Amerika beranggapan bahwa tidak pantas jika tamu mandi malam terlebih dahulu,
sedangkan tuan rumah yang orang Jepang beranggapan bahwa sikap paling hormat
tuan rumah dapat ditunjukkan pada saat mereka memberikan kesempatan kepada
tamunya untuk mandi malam lebih dahulu. Jika kedua belah pihak sama-sama tidak
mengerti, bisa jadi kedua belah pihak tidak mandi sampai malam hari. Karena
itu, pembelajaran keahlian dan proses ini harus diberikan dengan berbagai cara
dan dalam berbagai kesempatan, terutama pada peristiwa-peristiwa penggunaan
bahasa yang berbeda budayanya antara budaya bahasa siswa dan budaya bahasa yang
dipelajari.
Upaya mewujudkan pemerolehan bahasa
di dalam kelas dapat dilakukan dengan merancang kegiatan pembelajaran yang dapat
membantu siswa mengembangkan dan memperbaiki pengetahuan melalui perbandingan. Perbandingan
merupakan suatu proses mengidentifikasi ciri-ciri dua benda atau lebih,
kemudian, berdasarkan hasil identifikasi tersebut, guru dapat meminta siswa
menetapkan apakah dua benda yang baru saja diamati cirinya tersebut serupa dan
berbeda. Misalnya, guru dapat mengajak siswanya untuk membandingkan dua mobil
dengan menetapkan terlebih dahulu karakteristik yang akan dibandingkan (harga, tenaga
kuda, efisiensi bahan bakar, dsb). Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:
a) Pilih
benda yang akan dibandingkan
b) Pilih
karakteristik benda untuk membuat perbandingan
c) Jelaskan
bagaimana benda yang dibandingkan mempunyai sifat serupa atau berbeda dengan
karakteristik yang telah ditetapkan
d) Masukkanlah
hasil identifikasi ciri kedua benda ke dalam bentuk matrik seperti di bawah ini
e) Coba
uraikan hasil perbandingan tersebut dengan menggunakan wacana deskriptif.
|
Anjing
|
Ular
|
Burung
|
Kuda
|
Rambut
|
+
|
_
|
_
|
+
|
Menggonggong
|
+
|
_
|
_
|
_
|
Kaki
empat
|
+
|
_
|
_
|
+
|
Tabel 2.
Matriks Perbandingan
Untuk membuat matriks ini, guru perlu
terlebih dulu memberi siswa gambar benda-benda yang akan dibandingkan (anjing,
ular, burung, kuda) dan karakteristik yang akan dibandingkan (rambut,
menggonggong, empat kaki). Setelah siswa membuat perbandingan dengan menempatkan
tanda + atau – untuk menunjukkan apakah benda tertentu memiliki karakteristik
yang terdapat dalam matriks. Lebih jauh, siswa dapat diajak untuk mengembangkan
matriks dengan mengidentifikasi benda lain dengan karakteristik lain yang ditempatkan
dalam matriks dan dibandingkan menggunakan karakteristik yang telah
ditambahkan, sebagaimana tabel berikut.
|
Anjing
|
Ular
|
Burung
|
Kuda
|
Kucing
|
Lembu
|
Rambut/
bulu
|
+
|
_
|
_
|
+
|
+
|
_
|
Menggonggong
|
+
|
_
|
_
|
_
|
_
|
_
|
Kaki
empat
|
+
|
_
|
_
|
+
|
+
|
+
|
Sebagai hewan
Peliharaan
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
_
|
Sebagai
Makanan
|
_
|
_
|
+
|
_
|
_
|
+
|
Dapat
terbang
|
_
|
_
|
+
|
_
|
_
|
_
|
Tabel 3.
Perluasan Matriks Perbandingan
Ketika matriks selesai, siswa dapat
diminta membuat paragraf yang berisi uraian tentang kesamaan atau perbedaan
benda-benda yang mereka perbandingkan dengan menggunakan matriks mereka.
Setelah siswa memiliki kemampuan
mengidentifikasi dan melakukan perbandingan, kemampuan itu dapat ditingkatkan
dengan kemampuan mengelompokkan. Kemampuan ini dapat dicapai setelah siswa mengenal
ciri-ciri benda, kesamaan dan perbedaan ciri benda. Pengelompokan merupakan
proses pengumpulan benda-benda menjadi kategori. Contoh, ketika kota membagi
binatang berkaki empat menjadi tiga kelompok utama. Proses ini mengembangkan
dan memperbaiki pengetahuan pembelajar dengan memikirkan atribut dan karakteristik
dengan cara yang tidak biasa. Mungkin aspek paling penting pengelompokan adalah
tahap pembuatan aturan yang digunakan dalam membentuk kategori. Contoh, satu
kelompok binatang berkaki empat yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Pada
kategori satu ini, peserta didik besar kemungkinan akan berdiskusi atau berdebat
keras untuk mempertahankan pengategoriannya masing-masing, sebab ada suku
bangsa tertentu di Indonesia ada yang suka memakan anjing, kuda, atau ular,
sedangkan suku lain tidak biasa melakukannya. Kelompok lain adalah kategori binatang
berkaki empat yang berdiam di dalam rumah bersama dengan pemiliknya. Untuk
kategori kedua ini pun akan terjadi diskusi meskipun tidak sehebat yang
pertama, misalnya pada penetapan ular sebagai binatang peliharaan/kesayangan.
Sekadar catatan untuk guru, yaitu
bahwa guru harus benar-benar memberikan bimbingan pembelajaran pengelompokan
ini, bukan sekadar mengatakan: ‘kelompokkan informasi ini’. Sebagai kegiatan
perluasan dan perbaikan, pengelompokan informasi seringkali merupakan proses
yang menantang, dan banyak peserta didik yang membutuhkan bimbingan untuk
menguasainya dengan sepenuhnya.
Pemerolehan bahasa di dalam kelas
akan lebih besar kemungkinannya untuk terwujud apabila guru menciptakan kondisi
belajar yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan dan memperbaiki
pengetahuan melalui melalui penyimpulan secara induktif. Induksi melibatkan
pengambilan kesimpulan umum dari observasi khusus atau bagian tertentu dari
informasi. Sebagian besar dari kita sering menggunakan induksi secara informal
setiap hari. Pada intinya, induksi melibatkan analisis terhadap hal khusus dan
kemudian membentuk generalisasi. Ini merupakan alat belajar yang banyak
diaplikasikan di dalam kelas.
Adapun langkah-langkah khusus untuk
menggunakan induksi dengan baik adalah seperti berikut ini.
1.
Kenalkan siswa pada cara melakukan
induksi.
Hampir semua siswa
membutuhkan pengantar pada konsep induksi karena hal ini mudah sekali salah
dipahami. Contoh kongkrit adalah pengenalan terbaik. Coba ini: masuklah ke
dalam kelas, banting pintu, lempar tas buku anda di meja anda masing-masing,
kemudian duduk dengan muka cemberut. Setelah sesaat, minta siswa membuat
kesimpulan terhadap serangkaian tindakan yang mereka lakukan: mereka akan
menyimpulkan bahwa itu adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang sedang
kesal atau marah. Kemudian, jelaskan pada mereka bahwa proses mental yang
mereka gunakan disebut induksi, yaitu penalaran dari khusus menuju ke
kesimpulan umum. Selanjutnya, siswa diminta mengidentifikasi contoh-contoh lain
induksi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan mengamati iklan yang berbeda
untuk produk yang sama. Siswa dapat diminta mendiskusikan kesamaan dan perbedaan
benda yang ada pada iklan. Berikutnya, dengan cara berpikir nyaring, guru
bahasa dapat menunjukkan langkah-langkah penarikan kesimpulan secara induktif
tentang tema umum pada tiga iklan berbeda untuk produk yang sama.
2.
Berikan
kepada siswa cara menyajikan induksi secara grafis.
Meskipun induksi tidak
mudah dilambangkan secara grafis, namun akan lebih mudah jika cara menarik
kesimpulan secara induktif divisualisasikan dengan grafis proses berikut:
|
|
|
Observasi atau bagian
informasi khusus ditempatkan dalam kotak pertama. Deskripsi umum pola-pola atau
hubungan yang diamati ditempatkan dalam kotak kedua. Selanjutnya, kesimpulan
ditempatkan dalam kotak ketiga.
3.
Ajari siswa untuk menggunakan matriks
induksi.
Matriks induksi paling
mudah diterapkan pada konsep. Baris mendatar matriks induksi berisi konsep yang
dipertimbangkan. Secara umum, konsep ini haruslah masuk dalam kategori umum
(contoh, tipe pemerintah). Kolom matriks berisi pertanyaan tentang setiap
konsep yang harus dijawab. Tabel berikut menunjukkan contoh matriks induksi.
Perhatikan bahwa kesimpulan ditarik untuk baris dan kolom. Setelah siswa menjawab
kolom pertanyaan ‘Siapa yang memerintah?’ ‘Bagaimana keputusan dibuat?’ ‘Apa
contoh awalnya?’ untuk setiap dari empat tipe pemerintahan (demokrasi,
republik, monarki, dan kediktatoran dalam matriks, mereka dapat menarik kesimpulan
tentang kekuasaan, pembuatan keputusan, dan bentuk awal pemerintahan (kolom
kesimpulan). Akhirnya, mereka dapat membuat kesimpulan ringkasan yang
menggabungkan unsur-unsur kesimpulan baris dan kolom.
Tabel
4.
Matriks Induksi
|
Siapa
yang memerintah
|
Bagaimana
keputusan dibuat
|
Contoh
awal
|
Kesimpulan
|
Demokrasi
|
|
|
|
|
Republik
|
|
|
|
|
Monarki
|
|
|
|
|
Diktator
|
|
|
|
|
Kesimpulan
|
|
|
|
|
Sebagai kegiatan lain, misalnya,
dalam KTSP untuk SMP terdapat kompetensi dasar yang meminta siswa mengomentari
karya seni. Indikator yang dapat dikembangkan oleh guru tergambar pada matrik
di atas ini. Dalam kegiatan pembelajarannya, guru dapat meminta peserta didik menggunakan
matriks induksi untuk menarik kesimpulan tentang tiga jenis seni berbeda.
Setelah matrik itu selesai, baru kegiatan pembelajaran berikutnya dapat
dilakukan, yaitu mengomentari karya seni dengan cara membandingkan ciri karya
seni yang satu dengan yang lainnya berdasarkan matriks yang telah disusun.
I.
Pengembangan dan Pengelavalusian Pengajaran Bahasa di Dalam Kelas
Setelah pembelajaran mengetahui dan
memperoleh pengalaman belajar cara menyimpulkan informasi secara induksi, guru
dapat membantu kemampuan menggunakan bahasa melalui kegiatan pembelajaran
mengembangkan dan memperbaiki pengetahuan melalui deduksi. Deduksi merupakan
jenis pemikiran kuat yang kita gunakan hampir setiap hari. Contoh, Anda membuat
deduksi ketika Anda memberitahu Anda sendiri tidak boleh makan sebuah kue
karena kue itu mengandung ‘terlalu banyak gula yang dapat menjadikan Anda
gemuk’. Yang mengendalikan Anda untuk tidak makan kue yang mengandung banyak
gula adalah pengetahuan yang Anda miliki, bahwa menumpuk gula dalam tubuh dapat
mengakibatkan kegemukan. Meskipun lebih sulit dari induksi, deduksi bermanfaat
karena cara belajar ini dapat memberikan perspektif unik pada informasi isi.
Adapun langkah-langkah untuk mengajarkan cara berpikir deduktif (Marzano, dkk.
1992:109-117) adalah seperti berikut:
1.
Kenalkan siswa pada konsep deduksi.
Guru/dosen dapat menunjukkan perbedaan antara induksi dan deduksi
dengan memberi pembelajar contoh-contoh. Dengan anggapan deduktif, kesimpulan
haruslah benar jika premis benar. Anda tahu bahwa paus mesti menghirup udara
karena paus adalah mamalia dan semua mamalia menghirup udara. Dengan anggapan induktif,
kesimpulan sangat mungkin namun kesimpulan itu tidak mutlak.
2.
Berikan beberapa panduan umum untuk
diikuti siswa ketika mereka terlibat dalam penalaran deduktif, seperti
berikut:
a) Identifikasi
aturan umum yang berlaku pada situasi yang Anda pertimbangkan.
b) Identifikasi
kondisi yang harus ada agar aturan umum tersebut berlaku.
c) Jika
kondisinya ada, identifikasi hal-hal yang harus benar berdasarkan aturan umum.
3.
Beri peserta didik format dan isi
argumentasi kategoris.
Pada tingkat paling dasar, Anda membuat argumentasi kategoris
ketika Anda menarik kesimpulan dari premis. Contoh, Anda berpikiran secara
kategoris ketika penalaran Anda mengikuti pola ini:
a. Semua pesawat
komersiil memiliki peralatan pemadam kebakaran
b. Pesawat yang saya
naiki merupakan pesawat komersiil
c. Sehingga, pesawat
ini memiliki peralatan pemadam kebakaran
Jenis
argumentasi ini disebut silogisme. Pernyataan a dan b adalah premis. Pernyataan
c adalah kesimpulan. Silogisme selalu memiliki dua premis dan sebuah kesimpulan.
Dalam penalaran keseharian, bentuk silogisme kategoris biasanya tersembunyi.
Contoh, argumentasi berikut didasarkan pada silogisme kategoris tersembunyi:
Saya tahu pesawat ini memiliki peralatan pemadam kebakaran karena ini merupakan
pesawat komersial. Di balik pernyataan ini tersembunyi premis a dan b seperti
dinyatakan di atas dan kesimpulan c. Perhatikan bahwa kesimpulan harusnya benar.
Sebagaimana karakteristik penjelas dari semua bentuk penalaran deduktif, ketika
diketahui bahwa premis benar, kesimpulan harusnya benar.
J.
PENUTUP
Pemerolehan bahasa dalam kelas dapat
diwujudkan dengan memberikan pengetahuan eksplisit dan implisit kepada siswa dalam
kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Pengetahuan eksplisit dan implisit dapat
direalisasikan oleh guru melalui penyajian pengetahuan, baik yang terkait
dengan pengetahuan bahasa maupun yang terkait dengan ranah isi. Selain itu,
dalam pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas, guru perlu merancang kegiatan
pembelajaran yang terkait dengan pengetahuan deklaratif dan prosedural bagi
peserta didik. Melalui pembelajaran induktif, deduktif, atau pun campuran, guru
dapat menjadikan kelas sebagai ranah yang memberikan kondisi terjadinya
pemerolehan bahasa, bukan hanya pada ranah alamiah sebagaimana dipikirkan oleh
Stephen D. Krashen, melainkan juga pada ranah pseudo alamiah seperti kelas,
sebagaimana dipaparkan oleh Bialystok. Karena itu, tentang perancangan isi,
materi, dan kegiatan pembelajaran bahasa agar kompetensi berbahasa Indonesia
siswa dapat berkembang dengan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazali,
A.S. 1978. Teori Pemerolehan Bahasa kedua
dan Pembelajarannya. Jakarta: Dirjen Dikti.
Ghazali,
A.S. 2010. Pembelajaran Keterampilan
berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: Refika
Adhitama.
Samsuri.
1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT Sastra Hudaya.