Minggu, 20 Oktober 2013

teori dan kritik sastra (drama) > laporan bacaan (book report)



LAPORAN BACAAN (BOOK REPORT)
oleh: MISDIANTO
NIM 1209077

Mahasiswa Program Pascasarjana
 Konsentrasi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Studi Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Padang
Top of Form

       

       
    I.        Pendahuluan
Berdasarkan hasil bacaan, maka pembaca menyajikan sebuah laporan bacaan (book report),  bahwa buku bernuansakan pengetahuan fiksi yang berjudul: Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi”. Buku  ini disusun oleh Melani Budianta, Ida Sundari Husen, Manneke Budiman, dan Ibnu Wahyudi. Kemudian, di sunting oleh Manneke Budiman, Ibnu Wahyudi, dan I Made Suparta. Lalu, penyelia akhir oleh Gunawan Budi Susilo dan Khotimatul Husno. Selanjutnya, perancang sampul oleh W. Ida Lazarti dan perwajahan oleh Saka Weda. Pencetakan buku ini sudah dilakukan dua kali cetakan. Cetakan pertama, September 2002 dan cetakan kedua, September 2003 pada penerbit Indonesia Tera dengan ISBN: 979-9375-84-3 dan jumlah halamannya x+256 halaman serta tebalnya 21 sentimeter. Pemberi kata pengantar dari buku ini adalah  Manneke Budiman, Ibnu Wahyudi, dan I Made Suparta.
            Pada buku ini terdiri atas lima bab dan ditambah dengan daftar pustaka, daftar istilah, lampiran dan biodata pengarang buku. Pada bab I yaitu mengkaji tentang pengantar sastra. Isinya mengenai: (1) sastra itu apa? (2) sastra: antara konvensi dan inovasi; (3) fungsi sastra; dan (4) produksi dan reproduksi sastra. Pada bab II yaitu dibahas mengenai puisi. Di dalamnya memuat: (1) puisi itu apa? (2) unsur-unsur pembangun puisi; dan (3) aneka ragam puisi. Kemudian, pada bab III dikaji tentang seluk-beluk prosa. Di dalamnya tercantum pembahasan: (1) prosa: struktur narasi; (2) unsur-unsur prosa: tokoh, latar, alur ; dan (3) struktur penceritaan/ penuturan. Selanjutnya, bab IV yaitu spesialisasi telaahnya pada drama. Di sana memuat mengenai: (1) hakikat drama; (2) karakteristik, elemen drama, dan sarana dramatik; dan (3) pengkategorian drama. Akhirnya, pada bab V memuat khusus catatan untuk pengajar. Isi catatan tersebut ditujukan untuk: (1) catatan untuk pengajar sastra; (2) catatan untuk pengajar puisi; (3) catatan untuk pengajar prosa; dan (4) catatan untuk pengajar drama.
Buku ini memiliki kelebihan, baik pada bab IV maupun di bab V, yaitu adanya petunjuk kegiatan-kegiatan dan tugas-tugas bagi para mahasiswa dan pengajar di perguruan tinggi.

II.        Laporan Bacaan tentang Drama (halaman 95-103 dan halaman 156-167)
Pada bagian buku pengetahuan fiksi yang berjudul: Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi” di bagian bab IV khusus menelaah mengenai drama dan di bab V adalah berisikan catatan untuk pengajar. Berikut ini merupakan pemaparan yang dikupas secara ringkas tentang kedua bab tersebut.
Di subbab pertama pada bab IV tersebut membahas topik hakikat drama (play). Menurut Sir John Pollock mengatakan bahwa konsep teks drama pada hakikatnya merupakan sebuah genre sastra yang memiliki ciri yakni adanya cakapan (dialoque) antartokoh, adanya petunjuk pemanggungan (gambar suasana, lokasi, perbuatan/ tindakan tokoh). Selanjutnya, drama bukan sekadar sebuah naskah/ teks untuk pementasan tetapi dapat dikonversikan (diubah) dalam bentuk prosa atau puisi. Namun, dalam perkembangan penulisan bukan lagi untuk dipentaskan melainkan hanya berhenti sebatas dibaca naskahnya saja (drama baca/ closet drama). Pada subbab kedua pada bab IV mengungkapkan tentang sejarah ringkas. Dijelaskan didalamnya bahwa “drama” dan “istilah” adalah dua istilah dari  bahasa Yunani yang sebenarnya berbeda. Fungsi awal drama sebagai rangkaian upacara keagamaan (ritual atau pemujaan terhadap dewa). Sedangkan, teater menurut Aeschylus (525-456 SM) menyiratkan makna pada peristiwa, karangan , dan risalah.  Lalu, istilah teater (theotron/ theaomai) bermakna “ketakjuban melihat atau memandang”. Sedangkan, Herodotus (490-424 SM) memaknai sebagai “gedung pertunjukan panggung atau publik atau auditorium”. Di Kitab Perjanjian Lama dianggap sebagai karangan tonil.
Di dunia Barat, sebelum penemuan teknologi audiovisual, drama ditampilkan di lapangan terbuka, penonton melingkar atau setengah lingkaran pementasannya di tengah lingkaran tersebut. Akhirnya, terjadi pergeseran zaman kearah oratoria (seni berbicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan efektivitas komunikasi). Elemen utamanya, dengan musik (opera atau operet) atau dapat dengan mengandalkan dialog/ dialog. Ini sejalan dengan perkembangan teknologi audiovisual.
Bagian berikutnya, di buku ini (hlm. 104-110) mengidentifikasikan karakteristik, elemen, dan sarana dramatik. Karakteristik drama sejatinya: (1) berujud karya/ naskah drama (script), (2) menurut Donal Hall (1981), adanya dialog dan petunjuk pemanggungan. Meski pada genre puisi dan prosa dapat dikonvensikan menjadi cerita/ kisah drama. Tetap saja itu namanya drama karena niat naskah teks drama tersebut diujarkan oleh para pemain untuk disuguhkan kepada penonton (audience). Petunjuk pemanggungan bisa saja diinterpretasikan secara bebas penulisannya. Ada dua versi. Pertama, dicetak dengan huruf kapital atau dicetak dengan huruf kapital berada dalam tanda kurung. Ini dijumpai pada drama “Opera Kecoa”. Kedua, berupa keterangan yang berada dalam tanda kurung namun sangat sedikit dan tidak dicetak dengan huruf kapital seluruhnya.
 Jati diri drama mempunyai elemen: tokoh, alur, dan kerangka situasi cerita yang saling menunjang satu dengan lainnya. Pada sifat alami drama ada kemungkinan interprestasi tokoh dalam bentuk konkret. Tidak demikian dalam prosa karena pada hakikatnya mengutamakan alur daripada tokoh-tokoh. Tentang hal alur ini, ditanggapi oleh W.H. Hudson (1958) bahwa alur lebih dipentingkan, sedangkan tokoh hanya untuk mengisi dan menyelesaikan alur itu. Selain itu pendapatnya lagi, tokoh yang lebih penting, sedangkan alur hanya dipergunakan untuk mengembangkan tokoh sebab akan meninggalkan kesan dan meyakinkan dalam membangun alur cerita. Contoh, pada karya-karya Shakespeare. Sebaliknya, Bernard Grebanier (1981) malah alur lebih penting daripada tokoh, tokoh hanyalah subordinat saja dari luar. Seterusnya, genre tersebut mesti mengemukakan adanya konflik atau konflik-konflik. Sedangkan, Grebanier menambahkannya dengan oposisi yakni: (a) pemaparan/ eksposisi (exposition); (b) penggawatan/ komplikasi; (c) krisis/ klimaks; (d) peleraian/ antiklimaks; (e) penyelesaian.
Pementasan sebuah drama agar lebih dipahami dan “hidup” maka perlu adanya berbagai sarana dramatik, yaitu pertama monolog (monologue) yakni sebuah komposisi yang tertulis atau menyajikan wacana satu orang pembicara. Kedua, solilokui (soliloquy) yakni ujaran/ ucapan tokoh yang panjang dan isinya pemikiran subjektif yang ditujukan kepada penonton untuk menyarankan hal-hal yang akan terjadi. Ketiga, terakhir,  sampingan (aside) yakni ujaran yang ditujukan kepada para penonton tetapi tidak didengar oleh pemain lainnya karena berisi pikiran tokoh mengenai komentar terhadap peristiwa yang tengah berlangsung. Dalam pementasan, pemain yang mengucapkan sampingan biasanya mengarahkan wajahnya atau memalingkan mukanya ke arah penonton, dan cenderung menempati posisi di samping pentas.
Pengategorian drama adalah bagian judul terakhir yang di bahas pada bab IV buku ini yakni mengenai pengkategorian drama. Ukuran pengkategorian atau penilaian terhadap sebuah naskah drama akan menentukan layak atau tak layak, dipentas atau hanya sekadar dibaca saja karena kurang menarik bak novel atau prosa lainnya walaupun kriteria fisik telah memenuhi kriteria persyaratan karya drama. Oleh karena itulah, drama dibagi 2 kategori: (1) drama pentas atau drama saja; (2) drama baca (closet drama). Penyebab munculnya ini, menurut Shipley (1960) dan Abrams (1993), terletak pada proses pascapembacaan, niat si penulis.
Drama merupakan, termasuk kategori, genre karya sastra karena ada medianya yakni bahasa. Ragam bahasa bervariasi: bergantung pendidikan, status sosial, dan usia para tokoh dalam karya drama. Oleh karena itulah, secara sosiologis, naskah drama sarat dialek, bahasa sehari-hari, atau bahasa formal. Bahasa drama tak bisa ditinjau dari formal atau tidak, tetapi dari pemanfaatan sarana-sarana puitik atau naratif. Makanya terdapat drama puisi dan drama lirik. Drama puisi ketat dengan kaidah-kaidah puitis (rima, diksi) sedangkan Tambayong (1981) menyatakan bahwa drama lirik tak jauh bedanya hanya pada kecenderungan untuk mengikat lirik itu dengan bar (=potongan birama dalam setiap baris). Bentuk dramanya opera (hampir mengutamakan nyanyian) dan operet (selang-seling nyanyi dan dialog). Sajian drama berpola: (1) tragedi (duka-cita); (2) komedi (sukacita); (3) tragikomedi (suka-duka); (4) melodrama (diiringi musik); dan (5) farce (bersifat komedi situasi/ karikatural).  
Pada halaman berikutnya, di bab V, membahas khusus tentang ”Catatan untuk Pengajar Drama”. Sebagai objeknya adalah para mahasiswa. Tujuan pembelajaran agar mahasiswa memahami, mengingatkan, dan memotivasi materi ajar secara bebas, berdasarkan tingkat pengetahuan mereka.
Adanya perbedaan pemahaman antara istilah “drama” dan “teater”, maka inilah tugas pengajar. Oleh karena itulah, pertama, diperlukan taktik “melacak” pemahaman para mahasiswa tersebut dari pendapat dan komentar berdasarkan pengetahuannya. Kedua, jika “meleceng” maka perlu pengajar “meluruskannya”. Ketiga, jika mendekati logis dan benar, maka perlu mengarahkan melalui contoh-contoh. Keempat, jika butuh bantuan untuk menjelaskan, maka perlu merujuk seperti kamus. Untuk itu, diperlukan rambu-rambu menilai pemahaman. Bukan pada soal benar atau salah melainkan berdasarkan nalar yang sesuai.
Pada cuplikan “Opera Kecoa” dan “Pakaian dan Kepalsuan” maka sebagai pengajar, harus mampu menjelaskan drama sebagai teks dan sebagai genre sastra yang tersurat secara fisik (nyata), ada dialog dan petunjuk. Hal ini dapat didiskusikan atau dijadikan “pengalaman bermain” drama. Agar semakin luas pemahaman para mahasiswa, pengajar bisa mencari contoh lain karya drama yang belum atau sudah dipentaskan. Lalu, didiskusikan tentang sebab-sebab kepopuleran atau “bernasib jelek” hanya sebatas “drama baca” (closet drama). 
Bentuk kegiatan pengajar untuk para mahasiswa adalah dapat membawa mereka “jatuh cinta” terhadap drama. Pemberian kesadaran dapat melalui varian siaran pilihan di media televisi untuk menghilangkan kesan “angker” atau “menyeramkan”, serius, berat, dan berposisi sarat eksperimen. Adapun langkah-langkah berikut agar pembelajaran berhasil menjadi menyenangkan: (1) menyusun laporan bacaan berupa tanggapan, perbedaan, dan kesimpulan; (2) membagi pengalaman para mahasiswa yang terlibat pementasan drama ke mahasiswa lainnya; (3) mereviu daya ingat mahasiswa mengenai apa, bagaimana, dan mengapa yang telah dilihat atau disaksikan; dan (4) pengajar menyiapkan media pengajaran (berupa video rekaman atau cuplikan) sebagai pengalaman pembelajaran untuk para mahasiswa.
Keaktifan menjelaskan dan berdiskusi merupakan tugas seorang pengajar agar terpancing para mahasiswa untuk bertanya dan berkomentar. Adapun kiatnya, pertama, membuat kuis (lisan/ tulisan) dari cuplikan karya drama yang belum dibicarakan. Kedua, diinspirasi dari sebuah puisi, novel, cerpen, dan bahkan lagu yang bukan lagi mengandalkan pada naskah “siap pentas” sehingga menjadikan kelas dinamis karena para mahasiswa “dipaksa” mencari contoh dan ini layak dihargai sebagai sebuah karya. Ketiga, menunjukkan perbedaan esensial antara drama dengan prosa. Jika dalam prosa tokoh-tokoh cenderung berhenti dalam imajinasi pembaca. Di dalam drama tokoh-tokoh itu menjadi mengada atau konkret ketika dipentaskan. Kemudian, didiskusikan bersama, mana yang lebih penting alur atau tokoh. Keempat, pemanfaatan diagram alur agar membantu pemahaman. Dan, kelima, betul-betul memberikan penjelasan supaya tak ada kesalahpahaman terhadap 3 sarana unik dramatik: monolog, solilokui, dan sampingan.
Langkah-langkah pembelajaran bagi pengajar untuk karakteristik, elemen drama, dan sarana dramatik, yaitu: berdiskusi disertai alasan dan pemaknaan mengenai manfaat “setia” atau “tak setia” pada petunjuk pemanggungan (stage directions), membicarakan tematik dan stilistik dari karya drama yang ditugaskan, tanya jawab sejumlah persoalan seputar tokoh/ penokohan dan alur/ pengaluran, dan pengajar berperan sebagai “bak wasit” atau pemandu dalam diskusi.
Faktor penjadian sebuah drama: “drama baca” dan “drama pentas” agar benar-benar dapat dipentaskan. Tak menutup kemungkinan drama sarat dengan dialek, bahasa sehari-hari, formal ataukah campuran. Misalnya, bahasa tukang cukur dengan seorang guru atau dosen. Gaya penyajian ungkapan bahasanya tertata. Misalnya, drama yang berbentuk opera, operet, dan drama bersajak  (“Bebasari” karya Rustam Efendi). Kemudian, jenis drama berdasarkan pola sajiannya bertumpu pada alur dan tema  yakni terbagi atas 5: tragedi, komedi, tragikomedi, melodrama, dan farce.
Langkah-langkah pembelajaran untuk pengajar pada pengkategorian drama antara lain adalah berdiskusi mengenai persoalan pola sajian drama yang ditugaskan dengan disertai alasan atau argumen terhadap penarikan penyimpulan. Selain itu, pemberian penilaian terhadap tugas pementasan pada penghayatan dan pemahaman unsur-unsur drama.

III.       Komentar
Berdasarkan hasil membaca dari buku ini, pembaca memberi komentar atau tanggapan yaitu sebagai berikut.
1.    Materi buku mengenai hakikat (konsep, definisi, sejarah), karakteristik, elemen, sarana, dan pengkategorian drama di bab IV dinilai sebagai pengetahuan mendasar dan itupun belum memadai karena sifatnya umum. Terkesan penyusun atau pengarang buku ini dalam penyajian isinya sepertinya ala kadarnya saja. Siapa pun pembaca buku ini, seolah-olah disuguhkan mengenai berdrama pada level nol cakrawala pengetahuannya. Padahal peneguk ilmu itu sudah “berbaju” mahasiswa. Sudah tentu penempatan isi bukunya tak cocok lagi dengan derajat pendidikan sebagai mahasiswa.
2.    Teknik penyajian isi buku ini sepertinya lebih menekankan pada pemberian tugas-tugas dan kegiatan-kegiatan dari pengajar atau dosen ke mahasiswanya. Jadi, fungsi atau faedah buku ini terbatas pada kalangan tertentu saja yaitu kalangan pendidik atau pengajar di jenjang perguruan tinggi saja.

       Untuk bahan perbandingan, pembaca juga mencari bacaan lain yang topiknya masih sejenis. Bacaan pembanding yang dimaksud adalah 2 buah buku. Buku pembanding pertama berjudul “Drama: Teori dan Pengajarannya” yang dikarang oleh Prof. Dr. Herman J. Waluyo, penerbit PT Hanindita Graha Widya Yogyakarta, cetakan kedua: Maret 2003,  nomor ISBN: 979-8849-10-8, tebal buku viii + 208 halaman dan lebar 16 x 24 cm, garis besar isi buku terdiri dari: kata pengantar dan daftar isi + BAB I hingga BAB IV + daftar pustaka. Selanjutnya,  judul buku pembanding kedua “Prinsip-Prinsip Dasar Sastra” ditulis oleh Dr. Henry Guntur Tarigan, penerbitnya Angkasa Bandung dengan tebal viii + 243 halaman, isi buku secara garis besarnya terdiri dari kata pengantar lalu daftar isi ditambah Bab Satu sampai Bab empat, dan adanya daftar bacaan.
       Pembaca berpandangan bahwa antara buku bacaan ini dengan buku  bacaan pembanding pertama dan kedua, tentu ada kekurangan dan keunggulan dari ketiga buku bacaan tersebut. Pembaca juga berpendapat berdasarkan hasil membaca yang telah dilakukan bahwa:
1.    Pada buku pembanding pertama, berjudul “Drama: Teori dan Pengajarannya”, pembahasannya termuat di keseluruhan babnya yakni sebanyak empat bab khusus tentang telaah berdrama saja. Isinya memuat tentang: Bab I Drama dan Permasalahannya (Lakon dan Konflik Manusia,Naskah-Pengarang-Pementasan-Penonton,Pementasan Drama, Klasifikasi Drama, Lebih Lanjut tentang Jenis dan Konsepsi tentang Drama/ Teater, dan Selintas Sejarah Drama). Di Bab III Penyutradaraan dan Teknik Berperan. Kemudian, di Bab III Perlengkapan Pementasan (Perlengkapan Pementasan untuk Aktor/ Aktris, Perlengkapan di Pentas). Kemudian,terakhir, pada Bab IV Pengajaran drama (Pendahuluan,Tujuan, Pengajaran, Proses Belajar Mengajar, Strategi Pengajaran Teks Drama: Sebagai Karya Sastra,Strategi Pembelajaran Drama Pentas). Sedangkan, pada bacaan ini merupakan lazimnya suatu kumpulan pembahasan mengenai sastra, puisi, prosa, drama, dan catatan untuk pengajar. Itupun dibahas secara umumnya saja.
2.    Kajian bacaan ini ditujukan pada tingkat perguruan tinggi saja, antara pengajar dengan para mahasiswanya, sedangkan bacaan pembanding pertama bisa untuk segenap tingkatan pendidikan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dan, juga bukan untuk pengajar saja tetapi bisa untuk seluruh kalangan yakni siswa, mahasiswa, maupun peminat sastra umumnya dan drama pada khususnya.
3.    Antara buku bacaan ini dengan buku bacaan pembanding kedua “Prinsip-Prinsip Dasar Sastra” ditulis oleh Dr. Henry Guntur Tarigan, yang tergolong buku terbitan sudah lama karena cetakan tahun 1984. Metode penyajian isinya sama yaitu merupakan kumpulan pembahasan. Pada buku bacaan pembanding terdiri dari empat bab yakni bab satu: prinsip-prinsip dasar puisi; bab dua: prinsip-prinsip dasar drama (di dalamnya membahas tentang: pengantar ke masalah, apa yang disebut drama, drama dan teater, unsur-unsur drama, jenis-jenis drama, prinsip Goethe dalam drama, pentas drama, dan drama dalam pendidikan); bab tiga: prinsip-prinsip dasar fiksi; bab empat: prinsip-prinsip dasar kritik sastra.
4.    Dari hasil membaca, pembaca menganalisis dan menilai bahwa buku pembanding kedua yang ditulis oleh Dr. Henry Guntur Tarigan, tulisannya masih berkiblat atau kental pada teori-teori kebaratan (luar negeri). Hal ini dapat diteroka pada pemakaian istilah-istilah kata asing di bukunya tersebut. Namun, ada kelebihannya yakni adanya pencantuman bagan atau skema berbentuk khas lingkaran dalam kajian materi pada tiap-tiap bab. Sedangkan, pada buku ini dapat dikatakan minim istilah asing dan disajikan dengan bahasa lugas namun dapat dipahami oleh setiap pembaca.
5.    Daftar pustaka tidak terdapat pada buku bacaan ini sedangkan pada buku pembanding I terdapat di akhir halaman buku dan di buku pembanding II terdapat pada setiap selesai pembahasan materi, setiap bab pada buku.
6.    Buku ini merupakan buku “keroyokan”. Maksudnya, penyusunan buku adalah tim yakni disusun oleh Melani Budianta, Ida Sundari Husen, Manneke Budiman, dan Ibnu Wahyudi. Kemudian, di sunting oleh Manneke Budiman, Ibnu Wahyudi, dan I Made Suparta. Lalu, penyelia akhir oleh Gunawan Budi Susilo dan Khotimatul Husno. Selanjutnya, perancang sampul oleh W. Ida Lazarti dan perwajahan oleh Saka Weda. Sedangkan, buku pembanding pertma dan kedua merupakan mahakarya sendiri atau bersifat individu, tanpa bantuan dari siapapun.

            Oleh karena itu, jika diminta memutuskan penilaian untuk ketiga buku tersebut maka menurut pembaca berdiri pada garis netral. Artinya, penilaiannya sangat relatif. Ketiga-tiganya bagus hanya bergantung kepada siapapun pembacanya. Misalnya, disampaikan untuk siapa, mengapa dipilih sebagai buku sumber, bagaimana penerapannya, di mana dan kapan disampaikan, dan apa yang akan disampaikan.

IV.       Penutup                                   
Ditinjau dari tujuannya, penyusun atau pengarang buku sekadar menginformasikan dan mengajak mengaplikasikan teori kepada siapa pun yang membaca ketiga buku itu. Sehingga ada kesinambungan proses pentransferan ilmu. Dengan begitu nilai manfaat antara teori berdrama dengan aplikasinya di lapangan berjalan seimbang, tak ada ketimbangan. Dengan membaca ketiga buku tersebut akan bertambah wawasan pengetahuan dan diharapkan pula mampu membantu berbagi pengalaman tentang keterampilan dan seluk-beluk berdrama. Pembaca setuju jika ketiga buku itu dijadikan bahan sumber dalam pengajaran maupun penulisan sebuah karya tulis ilmiah. Jadi, sejatinya makin banyak membaca, khususnya tentang drama, maka akan meningkatkan cara berpikir, pemahaman, dan melahirkan kreatifitas berkarya sebagai wujud apresiasi terhadap buku yang telah dibaca.

 V.       Sumber Referensi
Budianta, Melani dkk. 2003. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Depok: Penerbit Indonesia Tera.
J. Waluyo, Herman. 2003. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Penerbit PT Hanindita Graha Widya.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar