Minggu, 27 April 2014

LAPORAN BACAAN :" FILSAFAT ILMU"



LAPORAN BACAAN BUKU FILSAFAT


oleh: MISDIANTO
NIM 1209077
Mahasiswa Program Pascasarjana
Konsentrasi Pendidikan Bahasa Indonesia
Program Studi Pendidikan Bahasa
 Universitas Negeri Padang



I.           PENDAHULUAN
          Berdasarkan hasil membaca dari buku yang berjudul: FILSAFAT ILMU: SEBUAH PENGANTAR POPULER buah karya dari Jujun S. Suriasumantri yang diterbitkan tahun 2009 tersebut, maka pembaca menyajikan sebuah laporan bacaan (book report),  bahwa isinya berupa pengetahuan umum yang patut diketahui oleh semua kalangan. Adapun pendesain sampul buku yang berwarna biru berlogo patung Ganesha ini adalah bernama Natasa T. sedangkan pemberi kata pengantarnya oleh Andi Hakim Nasution. Buku ini pada tahun 2010 merupakan cetakan yang kedua puluh dua. Dengan nomor ISBN: 978-979-416-899-8 84-UM-01 dan tebalnya 384 halaman. Serta dicetak oleh PT Penebar Swadaya namun diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan Jakarta.
          Pada buku ini terdiri atas sepuluh bab dan di dalamnya, di bagian depan, terdapat halaman sampul buku (cover), halaman legalitas buku (hlm. 4), halaman motto (hlm.6), halaman persembahan dari pengarang buku (hlm.7), daftar isi (hlm. 9-10), kata pengantar dari Andi Hakim Nasution (hlm.11-12) sedangkan pemberi sekapur sirih adalah dari pengarang buku itu sendiri yakni oleh Jujun S. Suriasumantri (hlm. 13-15) dan adanya halaman publikasi (hlm.16). Selanjutnya, di bagian belakang buku, memuat daftar pustaka (hlm.369-379), halaman indeks (hlm.380-381), dan halaman catatan akhir (hlm.382-384). Pada bab I yaitu mengkaji tentang “Ke Arah Pemikiran Filsafat”. Isinya membahas mengenai: (1) ilmu dan filsafat. Pada bab II yaitu dibahas mengenai “Dasar-dasar Pengetahuan”. Di dalamnya memuat tentang: (1) penalaran; (2) logika; (3) sumber pengetahuan; dan (4) kriteria kebenaran. Kemudian, pada bab III dikaji tentang “Ontologi: Hakikat Apa yang Dikaji”. Di dalamnya tercantum isi pembahasan tentang: (1) metafisika; (2) asumsi; (3) peluang; (4) beberapa asumsi dalam ilmu; dan (5) batas-batas penjelajahan ilmu. Selanjutnya, bab IV bahasannya yaitu “Epistemologi: Cara Mendapatkan Pengetahuan yang Benar”. Di bab ini memuat mengenai: (1) jarum sejarah pengetahuan; (2) pengetahuan; (3) metode ilmiah; dan (4) struktur pengetahuan ilmiah. Di bab V memuat “Sarana Berpikir Ilmiah”. Isinya terbagi lagi: (1) sarana berpikir ilmiah; (2) bahasa; (3) matematika; (4) statistika.
          Pada bab VI pokok bahasannya mengenai masalah “Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu”. Isinya terdapat: (1) ilmu dan moral; (2) tanggung jawab sosial ilmuwan; (3) nuklir dan pilihan moral; dan (4) revolusi genetika. Lalu, di bab VII tentang “Ilmu dan Kebudayaan”. Di bab ini dibagi lagi: (1) manusia dan kebudayaan; (2) ilmu dan pengembangan kebudayaan nasional; dan (3) dua pola kebudayaan. Seterusnya, bab VIII yaitu tentang “Ilmu dan Bahasa”. Pecahan pembahasannya yakni: (1) tentang terminologi: ilmu, ilmu pengetahuan atau sains? (2) qua vadis? dan (3) politik bahasa nasional.
          Di bab IX tentang “Penelitian dan Penulisan Ilmiah”. Fokus di bab ini yaitu bahasan: (1) struktur penelitian dan penulisan ilmiah; (2) teknik penulisan ilmiah; dan (3) teknik notasi ilmiah. Bab penutup yakni bab X pokok bahasannya mengenai: (1) hakikat dan kegunaan ilmu.
          Buku ini memiliki kelebihan dengan menyisipkan ilustrasi lukisan yang berfilsafat pada setiap babnya. Maksudnya, sebuah lukisan pendukung disertai pula tulisan yang memunyai makna tersirat (mendalam). Di samping itu, buku itu juga terdapat kata-kata berfilsafat. Selanjutnya, terdapat contoh-contoh, skema-skema, dan permainan angka-angka yang semuanya berfungsi mendukung dalam berfilsafat. Menariknya lagi dari sisi isinya yaitu adanya pantun-pantun berfilsafat. Pemaparan isi buku di sajikan dengan bahasa yang sangat serius dan terdapatnya banyak penggunaan istilah-istilah ilmiah. Pada halaman isi juga mencantumkan catatan kaki (footnote) atau pun seperti footnote namun fungsinya sekadar sebagai keterangan tambahan saja.

II.           LAPORAN BAGIAN BUKU
          Pada isi bab I, pertama, (hlm.17-36), berjudul “KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT” pada buku FILSAFAT ILMU: SEBUAH PENGANTAR POPULER  karangan Jujun S. Suriasumantri dijelaskan bahwa seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah di bawahnya. Dia ingin menimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya. Karakteristik berfikir filsafat adalah bersifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam kontelasi pengetahuan lainnya. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral,. Kaitan ilmu dengan agama. Dia ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya.
          Sering kita melihat ilmuwan yang picik. Ahli fisika nuklir memandang rendah kepada ahli ilmu sosial. Lulusan IPA merasa lebih tinggi daripada lulusan IPS. Atau lebih sedih lagi, seorang ilmuwan memandang rendah kepada pengetahuan lain. Mereka meremehkan moral, agama, dan nilai estetika. Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin ilmunya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang: Loh, kok masih ada langit di luar tempurung kita. Lalu kita pun menyadari kebodohan kita sendiri. Yang kita tahu, simpul Sokrates, ialah bahwa saya tidak tahu apa-apa!
          Kerendahan hati Sokrates ini bukanlah verbalisme yang hanya sekadar basa-basi. Seorang yang berpikir filsafat bukan hanya tengadah ke bintang-bintang tetapi ia juga membongkar tempat berpijak secara fundamental. Inilah karakteristik berpikir filsafat yang kedua yaitu bersifat mendasar. Dia tidak lagi percaya bahwa ilmu itu benar mengapa ilmu dapat disebut benar? bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? apakah kriteria sendiri itu benar? Lalu benar itu sendiri apa? Seperti sebuah lingkaran maka pertanyaan itu melingkar. Selanjutnya, menyusur sebuah lingkaran, kita harus memulai dari satu titik, yang awal dan juga sekaligus akhir. Lalu bagaimana menentukan titik awal yang benar?
          Filsafat, meminjam pemikiran Will Durant, dapat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantreri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan maka filsafat pun pergi. Dia kembali menjelajah laut lepas; berspekulasi dan meneratas. Seorang yang skeptis akan berkata: sudah lebih dari dua ribu tahun orang berfilsafat namun selangkahpun dia tidak maju. Sepintas lalu kelihatannya memang demikian, dan kesalahpahaman ini dapat segera dihilangkan, sekiranya kita sadar bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan pionir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci. Filsafat menyerahkan daerah yang pengembangannya bermula sebagai filsafat. Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum filsafatnya sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The wealth of Nations (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philoshopy di Universitas Glasgow.
Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural phisolophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu,terjadi peralihan. Dalam taraf peralihan ini maka bidang penjelajahan filsafat menjadi lebih sempit. Tak lagi menyeluruh melainkan sektoral. Di sini orang tidak lagi mempermasalahkan moral secara keseluruhan. Bahkan dikaitkan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya dan kemudian berkembang menjadi ilmu ekonomi. Walaupun demikian dalam taraf ini secara konseptual ilmu masih mendasarkan kepada norma-norma filsafat. Umpamanya ekonomi masih merupakan penerapan etika (applied ethic) dalam kehidupan manusia dalam memenuhi hidupnya. Metode yang dipakai adalah normatif dan deduktif berdasarkan asas-asas moral yang filsafati.
Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah dengan pertanyaan lain. Pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga segi yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Ketiga cabang filsafat ini bertambah lagi yakni, pertama, teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, tentang hakikat pikiran serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika. Kedua, politik : yakni kajian mengenai organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal. Kelima cabang utama ini kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik di antaranya filsafat ilmu. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup: (1) Epsitemologi (Filsafat Pengetahuan); (2) Etika (Filsafat Moral); (3) Estetika (Filsafat Seni); (4) Metafisika; (5) Politik (Filsafat Pemerintahan); (6) Filsafat Agama; (7) Filsafat Ilmu; (8) Filsafat Pendidikan; (9) Filsafat Hukum; (10) Filsafat Sejarah; dan (11) Filsafat Metematika.
          Di bagian bab II (hlm.37-59) membahas tentang “DASAR-DASAR PENGETAHUN” dijelaskan bahwa dasar-dasar pengetahuan, pertama, yaitu: “PENALARAN”. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir, merasa, bersikap,dan bertindak. Sikap dan tindakannya yang bersumber dari pengetahuan yang didaptkan lewat merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meskipun dikatakan pascal, hati pun memiliki logika tersendiri.
          Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama. Oleh sebab itu, kegiatan proses berpikir untuk menghasilakn pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran memunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran memunyai kriteria kebenarannya masing-masing.
          Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa. Setelah itu, manusia harus hidup berbekal pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan.
          Manusia adalah satu-satunya mahkluk yang mengembangkan pengetahuan dengan sungguh-sungguh. Binatang juga memunyai pengetahuan namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup. Selain itu, memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru karena dia hidup bukan sekadar untuk kelangsungan hidupnya namun lebih dari pada itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; memberi makna bagi kehidupan; manusia memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya. Intinya adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekadar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas.
          Pengetahuan mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama, yaitu: (a) Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut dan (b) Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya, yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.
          Penalaran hakikatnya merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahkluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan.
          Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran memunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran memunyai kriteria kebenaran masing-masing.
          Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran memunyai ciri-ciri tertentu. Ciri pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, dan tiap penalaran memunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis. Berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu. Ciri kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya, penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah. Dengan demikian, penalaran lainnya juga mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari suatu pola berpikir tertentu.
          Kedua, dariDASAR-DASAR PENGETAHUAN”,yaitu:“LOGIKA”. Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu memunyai dasar kebenaran maka proses berpikir ituharus dilakukan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika. Logika secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih.” Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka hanya difokuskan kepada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan bersifat umum sedangkan logika deduktif, menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
          Penalaran dibagi dua, (a) induktif dan (b) deduktif. Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik dari suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individu. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya karena memunyai dua keuntungan. Keuntungan itu adalah (1) bersifat ekonomis dan (2) dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya.
          Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pertanyaan dan satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Jadi, ketepatan penarikan kesimpulan bergantung pada tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang akan ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif.
          Ketiga, dari bab II membahas topik tentang: “SUMBER PENGETAHUAN”. Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak namun lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra.
          Di samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional dan empiris, kedua-duanya merupakan induk produk dari sebauh rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba mendapat jawaban atas permasalah tersebut. Tanpa melalui proses berliku-liku dia sudah mendapatkan jawabannya. Intuisi juga bisa bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan jawabannya tidak pada saat sesorang itu secara sadar sedang menggelutinya. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan inuitif dapat digunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya suatu penalaran.
          Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah yang bersifat transedental kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai suatu pengantara dan kepercayaan terhadap suatu wahyu sebagai cara penyampaian merupakan titik dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu baru bisa diterima. Lalu, pernyataan ini bisa saja dikaji lewat metode lain. Secara rasional bisa dikaji, umpamanya, apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya konsisten atau tidak. Di pihak lain secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut.
          Terakhir, atau keempat, penjelasan dari bab II adalah: KRITERIA KEBENARAN. Tidak semua manusia memunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu, ada beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Pertama adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyatan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren.      Paham lain adalah kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi. Bagi penganut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya, jika seseorang menyatakan bahwa “ ibukota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan objek yang bersifat faktual yakni Jakarta memang ibukota republik Indonesia.
          Teori Pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1924) dalam sebuah makalah yang terbit tahun 1878 yang berjudul “How to make Our Ideas Clear.” Teori ini kemudian dikembangkan oleh para filsuf
Amerika. Bagi seorang pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungisional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu memunyai kegunaan praktis dalam kehidupan umat manusia. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungisional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran dilihat dari perspektif waktu.
          Bagian bab III (hlm.61-97), berjudul “ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI. Pada bagian pertama dijelaskan tentang: “METAFISIKA”.
Ada beberapa tafsiran mengenai metafisika. Tafsiran yang paling utama yang diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib (supernatural). Wujud-wujud ini lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan aliran kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernatulisme diman manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat goib yang terdapat pada benda-benda seperti batu, phon dan air terjun. Animisme ini merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan budaya manusia dan masih dipeluk oleh masyarakat di muka bumi.
          Sebagai lawan dari supernatulisme, maka terdapat pula paham naturalisme yang menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat supernaturalisme ini. Materialisme, yang merupakan paham berdasarkan naturalisme ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari. Dengan demikian dapat kita ketahui. Prinsip-prinsip materialisme ini dikembangkan oleh Democritos (460-370 SM). Dia mengembangkan materi tentang atom yang dipelajarinya dari gurunya Leucippus. Bagi Democritos unsur dasar dari alam ini adalah atom.
          Di bagian yang kedua di bab III membahas mengenai: “ASUMSI”. Salah satu permasalahan di dalam dunia filsafat yang menjadi perenungan para filsuf adalah masalah gejala alam. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam
yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan pilihan bebas, ataukah keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekadar tangkapan probabilistik? Ketiga masalah ini yakni determinisme, pilihan bebas, dan probabilistik merupakan permasalahan filasafati yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi, akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik. Jadi, marilah kita asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka semua pembicaraan akan sia-sia. Hukum disini diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh sebagian besar peserta, gejalanya berulangkali dapat diamati yang tiap kali memberikan hasil yang sama. Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hukum seperti itu
berlaku kapan saja dan di mana saja. Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa semua manusia memunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan pilihan alternatif. Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat ini marilah kita bertanya kepada diri sendiri apakah yang sebenarnya yang ingin dipelajari ilmu. Apakah ilmu ingin mempelajari hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia seperti yang dicoba dijangkau dalam ilmu-ilmu sosial, ataukah cukup yang berlaku bagi sebagian besar dari mereka? Atau bahkan mungkin kita tidak mempelajari hal-hal yang berlaku umum melainkan cukup mengenai tiap individu belaka?
          Konsekuensi dari pilihan adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum dari kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling kepada paham pilihan bebas sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya mengantarkan kita kepada paham yang bersifat probabilistik.      Sebelum kita menentukan pilihan marilah kita merenung sejenak dan berfilsafat. Sekiranya ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realitas untuk dicapai ilmu? Sekiranya Ilmu ingin menghasilkan hukum yang kebenarannya bersifat mutlak maka apakah tujuan ini cukup realistis untuk dicapai ilmu? Mungkin kalau sasaran ini yang dibidik ilmu maka khasanah pengetahuan ilmiah hanya terdiri dari beberapa gelintir pernyataan yang bersifat universal saja. Demikian juga, sekiranya sifat universal semacam ini disyaratkan ilmu bagaimana kita dapat memenuhinya, disebabkan kemampuan manusia yang tidak mungkin mengalami semua kejadian. Namun para ilmuwan memberi suatu kompromi, artinya ilmu merupakan pengetahuan yang berfungsi
membantu manusia dalam memecahkan kehidupan praktis sehari-hari, dan tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi, sebab pengetahuan yang bersifat personal dan individual seperti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi, di antara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya terhadap penafsiran probabilistik.
          Pada bab III pemaparan bagian ke-3 mengenai: “PELUANG”. Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan. Di mana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan, maka kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
          Bahasan di bagian keempat pada bab III tentang: “BEBERAPA ASUMSI DALAM ILMU”. Ilmu yang paling termasuk paling maju dibandingkan dengan ilmu lain adalah fisika. Fisika merupakan ilmu teoritis yang dibangun di atas sistem penalaran deduktif yang meyakinkan serta pembuaktian induktif yang mengesankan. Namun, sering dilupakan orang bahwa fisika pun belum merupakan suatu kesatuan konsep yang utuh. Artinya, fisika belum merupakan pengetahuan ilmiah yang tersusun secara semantik, sistematik, konsisten dan analitik berdasarkan pernyataan-pernyataan ilmiah yang disepakati bersama. Di mana terdapat celahcelah perbedaan dalam fisika? Perbedaannya justru terletak dalam fondasi di mana dibangun teori ilmiah di atasnya, yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya. Begitu juga sebaliknya, dengan ilmu-ilmu lain yang juga termasuk
ilmu-ilmu sosial.
          Pertanyaan yang muncul dari pernyataan di atas adalah apakah kita perlu membuat kotak-kotak dan pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit? Jawabannya adalah sederhana sekali; sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia, maka pembatasan ini adalah dianggap perlu. Suatu permasalahan kehidupan manusia seperti membangun pemukiman Jabotabek, tidak bisa dianalisis secara cermat dan saksama oleh hanya satu disiplin ilmu saja. Masalah yang rumit ini, seperti juga rumitnya kehidupan yang dihadapi manusia, harus dilihat sepotong demi sepotong dan selangkah demi selangkah. Berbagai disiplin keilmuan, dengan asumsinya masing-masing tentang manusia mencoba mendekati permasalahan tersebut. Ilmu-ilmu ini bersfat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidisipliner. (Jadi bukan “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau-balau). Dalam mengembangkan asumsi ini maka harus diperhatikan beberapa hal: (1) Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis; (2) Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya ‘bukan’ bagaimana keadaan yang
seharusnya.” Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral.
          Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang digunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang tersirat ini kadang-kadang menyesatkan. Sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan. Oleh karena itu, untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang tegas. Sesuatu yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat. Pernyataan semacam ini jelas tidak akan ada ruginya. Sebab sekiranya kemudian ternyata asumsinya adalah cocok maka kita tinggal memberikan informasi, sedangkan jika ternyata mempunyai asumsi yang berbeda maka dapat diusahakan pemecahannya.
          “BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU” merupakan penjelasan terakhir, atau kelima, dari bab keempat. Apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan meyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik obyek ontologi ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti pada batas pengalaman manusia. Jadi, ilmu tidak mempelajari masalah surga dan neraka dan juga tidak mempelajari sebab-musabab kejadian terjadinya manusia. Sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam pengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia; yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah yang dihadapi sehari-hari. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimanakah kita melakukan suatu kontradiksi yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah? Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajah ilmu, kata seorang, hanya sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu. Bahkan dalam batas pengalaman manusiapun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua berpaling kepada sumber-sumber moral. Tentang indah dan jelek semua berpaling kepada pengkajian estetik.
          Masuk ke bab IV(hlm.99-162) topiknya tentang “EPISTEMOLOGI: CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR”. Yang dijelaskan pada bagian pertama di bab ini adalah tentang: “JARUM SEJARAH PENGETAHUAN”. Pada masyarakat primitif, perbedaan diantara berbagai organisasi kemasyarakatan belum tampak, yang diakibatkan belum adanya pembagian pekerjaan. Seorang ketua suku umpamanya, bisa merangkap hakim, panglima perang, penghulu yang menikahkan, guru besar atau tukang tenung. Sekali kita menempati status tertentu dalam jenjang masyarakat maka status itu tetap, ke manapun kita pergi, sebab organisasi kemasyarakatan pada waktu itu, hakikatnya hanya satu. Jadi, jika seseorang menjadi ahli maka seterusnya dia akan menjadi ahli. Kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara satu objek dengan objek yang lain. Antara wujud yang satu dengan wujud yang lain.
          Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya abad penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad XVII. Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon pengetahuan dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaimana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan. Salah satu cabang pengetahuan itu yang berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari metodenya. Metode keilmuan adalah jelas sangat berbeda dengan ilmu yang merupakan paradigma dari abad pertengahan. Demikian juga ilmu dapat dibedakan dari apa yang ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.
          Difrensiasi dalam bidang ilmu cepat terjadi. Secara metafisisk ilmu mulai dipisahkan dengan moral. Berdasarkan objek yang ditelaah mulai dibedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Perbedaan yang makin terperinci ini maka menimbulkan keahlian yang lebih spesifik pula. Makin ciutnya kapling masing-masing disiplin keilmuan itu bukan tidak menimbulkan masalah. Sebab dalam kehidupan nyata seperti pembangunan pemukiman manusia maka masalah yang dihadapi makin banyak dan makin njelimet (sukar). Menghadapi kenyataan ini terdapat lagi orang dengan memutar jam sejarah kembali dengan mengaburkan batas-batas masing-masing disiplin ilmu. Dengan dalih, pendekatan interdisipliner maka berbagai disiplin keilmuan dikaburkan batas-batasnya, perlahan-lahan menyatu ke dalam kesatuan yang berdifusi.
          Pendekatan interdispliner memang merupakan keharusan. Namun tidak dengan mengaburkan otonomi masing-masing disiplin keilmuan yang telah berkembang berdasarkan routenya masing-masing, melainkan dengan menciptakan paradigma baru. Paradigma ini adalah bukan ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperi logika, matematika, statistika, dan bahasa. Setelah perang dunia II muncullah paradigma “konsep sistem” yang diharapkan sebagai alat untuk mengadakan pengakajian bersama antardisiplin keilmuan. Jelaslah bahwa pendekatan interdispliner bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin keilmuan yang akan menimbulkan
anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu. Di mana tiap disiplin keilmuan dengan otonominya masing-masing, saling menyumbangkan analisisnya dalam mengkaji objek yang menjadi telaahan bersama.
          “PENGETAHUAN” adalah pokok bahasan di bagian kedua yang pada bab IV. Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada. Sebab pengetahuan merupakan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu, agar kita dapat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka kita harus ketahui jawaban apa saja yang mungkin diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu yang harus kita ajukan. Sekiranya kita bertanya “apakah yang terjadi sesudah manusia mati?”, maka pertanyaan itu tidak bias diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri kepada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangakan agama memasuki pula daerah penjelajahan yang bersifat transedental yang berada diluar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa menjawab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunnya memang tidak mencakup permasalahan tersebut.
          Di bagian ketiga bab IV membahas mengenai: “METODE ILMIAH”.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah adalah sebagai berikut yaitu: pertama, perumusan masalah, Kedua, Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara faktor yang saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan, ketiga. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Keempat, pengujian hipotesis. Kelima. Penarikan kesimpulan.
          Pada bagian terakhir, keempat, mengemukakan tentang: “STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH”. Pengetahuan yang di proses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan dan dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Pada hakikatnya pengetahuan ilmiah mempunyai tiga fungsi yakni menjelaskan, merencanakan dan mengontrol. Sebuah teori pada umumnya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Makin tinggi keumuman konsep maka makin tinggi teoritis konsep tersebut. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi atau secara idealnya harus bersifat universal. Dalam ilmu sosial untuk meramalkan menggunakan metode proyeksi, pendekatan struktural, analisis kelembagaan atau tahap-tahap perkembangan. Penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penelitan murni atau penelitian dasar. Sedangkan penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidpan yang bersifat praktis dinamakan penelitian terapan.
          Di bab V (hlm163-225), topik sekaligus bagian pertamanya memfokuskan pada kajian  “SARANA BERPIKIR ILMIAH”. Di subjudul ini dijelaskan bahwa tujuan mempelajari sarana bepikir ilmiah disebutkan: (1) sarana ilmiah bukan merupakan ilmu. Dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmu (deduktif dan induktif). Sarana berpikir ilmiah tidak menggunakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuannya. Melainkan memunyai metode-metode tersendiri; (2) tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaah ilmiah secara baiik, sarana berpikir ilmiah antara: bahasa, logika, matematika, dan statistik.
          Manusia dapat berpikir dengan baik karena ada bahasa. Simbol bahasa yang bersifat abstrak memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut, bahasa adalah sarana komunikasi. Buah pikiran, perasaan, dan sikap, memunyai fungsi simbolik (komunikasi bahasa ilmiah), emotif (komunikasi estetik), dan objektif. Bahasa merupakan serangkaian bunyi dan lambang di mana rangkaian bunyi itu membentuk suatu arti tertentu atau rangkaian bunyi, yang dinamakan “kata” (melambangkan satu objek tertentu).
          Bagian kedua pada bab V kajiannya mengenai: “BAHASA”.
Fungsi bahasa secara umum dapat dibagi menjadi 4 bagian yaitu: (1) alat komunikasi; (2) alat mengekspresikan diri; (3) alat berintegrasi dan beradaptasi sosial; dan (4) alat kontrol sosial.
          Dalam filsafat keilmuan fungsi, memikirkan sesuatu dalam benak tanpa dalam objek yang sedang kita pikirkan. Membuat manusia berpikir terus menerus dan teratur, mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan. Komunikasi ilmiah memberi informasi pengetahuan berbahasa dengan jelas, bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Di karya ilmiah: tata bahasa, merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu. Memunyai gaya penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderumgan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni. Namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah.
Beberapa kekurangan bahasa antara lain: (1) sifat multi fungsi dari bahasa itu sendiri (emotif, ajektif, simbolik); (2) arti yang tidak jelas dan bebas yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa, kadangkadang lingkup artinya terlalu lemas. Misalnya cinta, pengelola (usaha kerja sama yang berdominasi); (3) sifat menjenuh bahasa dapat menimbulkan kekacauan semantik. Di mana dua orang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama untuk arti yang berbeda; dan (4) konotasi yang bersifat emosional.
          Beralih di bagian ketiga di bab ini membicarakan tentang: “MATEMATIKA”. Matemtika berfungsi: (1) Matematika sebagai bahasa: melambangkan serangkaian mkna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan; (2) Lambang bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya; (3) Matematika menutupi kekurangan bahasa verbal ( hanya satu arti = x).
          Ditinjau dari sifat kuantitatif dari matematika maka terdapat
kelebihan lain dari matematika, mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran kuantitatif.
Selanjutnya, matematika sebagai sarana berpikir deduktif, yaitu proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan pada premis-premis yang kebenarannya sudah ditentukan.
          Di bagian keempat pada bab V menerangkan tentang:“STATISTIKA”.
Yang menjadi dasar teori statistika adalah peluang. Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik. Yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang sederhana, yakni semakin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Statistika juga memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah suatu hubungan kausalitas antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan secara kebetulan.
          Untuk bab VI (hlm.227-257) menyampaikan tentang: “AKSIOLOGI: NILAI KEGUNAAN ILMU”. Di sini, yang dikupas pertama adalah tentang “ILMU DAN MORAL”. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran.Sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi oleh semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya demi untuk mempertahankan apa yang dianggap benar. Peradaban telah menyaksikan Sokrates dipaksa meminum racunan dan John Huss dibakar. Namun, sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tidak pernah urung dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan sekali dalam melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti drengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. ”Segalanya punya moral”, kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, ”asalkan kau mampu menemukannya.” (Adakah yang lebih gemerlap dalam gelap; keberanian yang esensial dalam avoktur intelektual?).
          Pada bagian kedua bab VI mengenai “TANGGUNG JAWAB SOSIAL ILMUWAN”. Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Sekiranya hasil-hasil karya itu memenuhi syarat keilmuan maka dia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat tersebut. Atau dengan perkataan lain, penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial. Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu. Di mana penemuan seorang seperti Newton atau Edison dapat mengubah wajah peradaban. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu yang berjalan sangat efektif.
          Ketiga dari bab VI mengupas tentang “NUKLIR DAN PILIHAN MORAL”. Seorang ilmuan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannnya itu adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa ilmuwan telah bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal menyangkut kemanusiaan para ilmuan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal dalam mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama, dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial.
          Terakhir, keempat, dari bab VI:  “REVOLUSI GENETIKA”. Revolusi Genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia. Sebab sebelum ini, ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tiada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu saja banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik langsung manusia sebagai objek penelaahan mengenai jantung manusia. Maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan perkataan lain, upaya kita diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan yang memungkinkan kita dapat mengetahui segenap pengetahuan yang berkaitan dengan jantung. Dan, di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang dapat memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung.
          Dengan penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang memberikan kemudahan bagi kita. Melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan menghasilkan. Bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri. Apakah perubahan-perubahan yang dilakukan di atas secara moral dapat dibenarkan.
          Melangkah ke bab VII (hlm. 259-288) membahas soal “ILMU DAN KEBUDAYAAN”. Di bagian awal bab ini berbicara tentang: “MANUSIA DAN KEBUDAYAAN”. Kebudayaan didefenisikan untuk pertama kali oleh E.B Taylor pada tahun 1871, lebih dari seratus tahun yang lalu, dalam bukunya Primitive Culture. Di mana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
          Manusia dalam kehidupannya memunyai kebutuhan yang banyak sekali. Mendorong adanya kebuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya. Manusia berbeda dengan binantang bukan hanya dalam banyaknya kebutuhan namun juga dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Kebudayaanlah, dalam konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara manusia dengan binatang.
          Berlanjut di bagian ke-2 khusus tentang: “ILMU DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN NASIONAL”. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan di sini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pengembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disadari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit atau tidak.
          Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suat masayarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya sedangkan dipihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terpadu secara intim dengan keseluruhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, kata Talcot Parsons, mereka saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masayarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat. Demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tidak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
          “DUA POLA KEBUDAYAAN” adalah bagian ketiga, terakhir, dari bab VII. Bahwasanya secara sosiologi maka terdapat kelompok yang memberi napas baru kepada ilmu-ilmu sosial. Mereka mengembangkan apa yang dinamakan ilmu-ilmu perilaku manusia (behavioral sciences) yang bertumpu kepada ilmu-ilmu sosial. Di mana perbedaan yang utama antara keduanya hanya terletak dalam keinginan untuk menjadikan ilmu-ilmu tentang manusia menjadi sesuatu yang lebih dapat diandalkan dan kuantitatif.
          Adanya dua kebudayaan yang terbagi ke dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini sayangnya masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita. Sekiranya kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang mencakup baik ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial maka dualisme kebudayaan ini harus dibongkar. Pembangkitan jurusan berdasarkan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya harus dihilangkan. Adanya pembagian jurusan ini merupakan hambatan psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di negara kita. Sudah merupakan rahasia umum bahwa jurusan Pasti-Alam dianggap lebih mempunyai prestise dibandingkan dengan jurusan Sosial-Budaya. Hal ini menyebabkan kepada mereka yang memunyai minat dan bakat baik di bidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih ilmu-ilmu alam karena alasan-alasan sosial-psikologis. Di pihak lain merupakan yang sudah terkontrak dalam jurusan Sosial-Budaya dalam proses pendidikannya kurang mendapatkan bimbingan yang cukup dalam pengetahuan matematikanya untuk menjadi ilmuwan kelas satu yang sungguh-sungguh mampu.
          Topik di bab VIII (hlm. 289-304) membahas mengenai “ILMU DAN BAHASA”. Di bab ini yang pertama kali dijelaskan adalah “TENTANG TERMINOLOGI: ILMU, ILMU PENGETAHUAN DAN SAINS? Ditinjau dari dua jenis ketahuan maka manusia dengan segenap kemampuan kemanusiaannya seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi mampu menangkap alam kehidupannya dan mengabstraksikan tangkapan tersebut dalam dirinya dalam berbagai bentuk ”ketahuan”. Umpamanya: kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah, dan filsafat. Terminologi ketahuan ini adalah terminologi artifisal yang bersifat sementara sebagai alat analisis yang pada pokoknya diartikan sebagai keseluruhan bentuk dari produk kegiatan manusia dalam usaha untuk mengetahui sesuatu.
          Ketahuan atau knowledge ini merupakan terminologi generik yang mencakup segenap bentuk yang kita tahu seperti filsafat, ekonomi, seni beladiri, cara menyulam, dan biologi itu sendiri. Jadi, biologi termasuk ke dalam ketahuan (knowledge) seperti juga ekonomi, matematika, dan seni. Untuk membedakan tiap-tiap bentuk dari anggota kelompok ketahuan (knowledge) ini terdapat tiga kriteria yakni: (a) Objek Ontologis: Adalah objek yang ditelaah yang membuahkan ketahuan; (b) Landasan Epistemologi: Cara yang dipakai untuk mendapatkan ketahuan (knowledge) tersebut; atau dengan perkataan lain, bagaimana caranya mendapatkan ketahuan (knowledge) ini; (c) Landasan Aksiologis : Untuk apa ketahuan itu digunakan (nilai).
          Di bagian kedua pada bab VIII adalah tentang “QUO VADIS?” Terminologi Ilmu untuk science dan pengetahuan untuk knowledge. Secara de facto dalam kalangan dunia keilmuwan terminologi ilmu sudah sering dipergunakan seperti dalam metode ilmiah dan ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu alam. Adapun kelemahan dari pilihan ini ialah bahwa kita terpaksa meninggalkan kata ilmu pengetahuan dan hanya menggunakan kata ilmu saja untuk sinonim science dalam bahasa inggris. Alternatif pertama menggunakan ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge.
          Bagian selanjutnya, ketiga, dari bab VII ini adalah “POLITIK BAHASA NASIONAL”. Bahasa pada hakikatnya memunyai dua fungsi utama yaitu, pertama, sebagai sarana komunikasi antarmanusia. Kedua, sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Fungsi yang pertama dapat kita sebutkan sebagai fungsi komunikatif sedangkan fungsi yang kedua sebagai fungsi yang kohesif atau integratif. Pengembangan sebuah bahasa haruslah memerhatikan kedua fungsi ini agar terjadi keseimbangan yang saling menunjang dalam pertumbuhannya. Seperti juga manusia yang mempergunakan bahasa harus terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pergantian zaman.
          Pada tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia telah memilih basaha Indonesia sebagai bahasa nasional. Alasan yang paling utama pada waktu utama lebih ditekankan pada fungsi kohesif. Bahasa Indonesia sebagai sarana untuk mengintegrasikan berbagai suku ke dalam satu bangsa yakni Indonesia. Tentu saja terdapat evaluasi yang berkonotasi dengan kemampuan bahasa Indonesia sebagai fungsi komunikatif, yakni fakta bahwa bahasa Indonesia merupakan lingua franca dari sebagian besar penduduk. Namun kalau dikaji lebih mendalam maka kriteria bahasa sebagai fungsi kohesif itulah kriteria yang menentukan. Perkembangan bahasa tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sektor-sektor lain yang juga tumbuh berkembang. Sekiranya bahasa berkembang terisolasikan dari perkembangan sektor-sektor lain. Maka bahasa mungkin bersifat tidak berfungsi dan bahkan kontra produktif (counter-productive).
          Di bab IX (hlm.305-363): “PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH”. Bagian pertama di bab ini membahas “STRUKTUR PENELITIAN DAN PENULISAN ILMIAH”. Langkah pertama dalam penelitian ilmiah adalah mengajukan masalah yang berisi: latar belakang dari suatu masalah. Kemudian, melakukan identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Langkah kedua yaitu: pengajuan Hipotesis. Dalam hipotesis mengkaji mengenai teori-teori ilmiah yang dipergunakan dalam analisis, pembahasan mengenai penelitian-penelitian lain yang relevan, penyusunan kerangka berpikir dengan mempergunakan premis-premis dan menyatakan secara tersurat postulat, asumsi dan prinsip yang dipergunakan, lalu merumuskan hipotesis. Setelah melakukan perumusan hipotesis maka langkah berikutnya menguji hipotesis secara empiris melalui penelitian dan kemudian hasil penelitian dapat dilaporkan dalam kegiatan sebagai berikut: (1) menyatakan variabel-variabel yang diteliti; (2) menyatakan teknik analisis data; (3) mendeskripsikan hasil analisis data; (4) memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data; dan (5) menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima. Langkah selanjutnya, setelah kegiatan laporan hasil penelitian adalah “Ringkasan dan Kesimpulan”. Kesimpulan pengujian hipotesis dikembangkan menjadi kesimpulan penelitian yang ditulis dalam bab tersendiri. Kesimpulan penelitian ini merupakan sintesis dari keseluruhan aspek penelitian yang terdiri dari masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodologi penelitian dan penemuan penelitian. Seluruh laporan penelitian disarikan dalam sebuah ringkasan yang disebut abstrak. Dalam laporan penelitian dilampirkan daftar pustaka dan riwayat hidup peneliti.
          Bagian kedua di bab ini adalah “TEKNIK PENULISAN ILMIAH”.
Teknik penulisan ilmiah memunyai dua aspek yakni gaya penulisan serta teknik notasi. Penulis ilmiah harus menggunakan bahasa yang baik dan benar. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif artinya bahwa sipenerima pesan mendapatkan kopi yang benar-benar sama dengan prototipe yang disampaikan sipemberi pesan. Komunikasi ilmiah harus bersifat impersonal dimana berbeda dengan tokoh dalam sebuah novel yang bisa berupa aku dan dia atau doktor faust. Kata ganti perorangan hilang dan diganti universal yakni ilmuwan. Pembahasan secara ilmiah mengharuskan kita berpaling kepada pengetahuan-pengetahuan ilmiah sebagai premis dalam argumentasi kita. Pernyataan ilmiah yang kita gunakan harus mencatat beberapa hal yakni kita identifikasi orang membuat pernyataan tersebut, media komunikasi ilmiah. Di mana pernyataan tersebut di sampaikan, lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat domisili dan waktu penerbitan dilakukan.
          Pada bagian ketiga atau terakhir di bab IX yaitu “TEKNIK NOTASI ILMIAH”. Kalimat yang kita kutip harus dituliskan sumbernya secara tersurat dalam catatan kaki. Catatan kaki mulai langsung dari pinggir atau dapat dimulai setelah beberapa ketukan tik dari pinggir asalkan dilakukan secara konsisten. Nama pengarang yang jumlahnya sampai tiga orang dituliskan lengkap sedangkan jumlah pengarang yang lebih dari tiga orang hanya ditulis nama pertama ditambah kata et al. Kutipan yang diambil dari halaman tertentu disebutkan halamannya dengan singkatan p ( pagina ) atau hlm. ( halaman ). Jika kutipan itu disarikan dari beberapa halaman maka dapat ditulis pp.1-5 atau hlm 1-5. Jika nama pengaranganya tidak ada langsung dituliskan nama bukunya atau anom (anonim) di depan nama buku tersebut. Sebuah buku yang ada diterjemahkan harus ditulis baik pengarang maupun penterjemah buku tersebut sedangkan kumpulan karangan cukup disebutkan nama editornya. Pengulangan kutipan dengan sumber yang sama dilakukan dengan memakai notasi op.cit ( opere citato: dalam karya yang telah dikutip ), loc. cit ( loco citato: dalam tempat yang telah dikutip dan ibid ( ibidem : dalam tempat yang sama ).

III.        KOMENTAR
          Buku berjudul: FILSAFAT ILMU: SEBUAH PENGANTAR POPULER karangan Jujun S. Suriasumantri ini adalah sebuah buku yang memiliki pembahasan luas dalam penyampaiannya. Bukan hanya terpaku pada satu ide pokok. Namun pengarangnya mampu mengaitkan suatu pokok masalah ke hal-hal yang lebih umum dan mudah dinalar. Karena di dalam buku ini selain menerangkan, pengarang juga berhasil menyampaikan pesannya secara efektif terutama melalui contoh-contoh yang sangat kongkret dan dilengkapi ilustrasi gambar yang menarik untuk dilihat selepas membaca, karikatur syair, dan anekdot yang sangat relevan. Jadi, dengan kelengkapan yang ada didalam buku ini, kemungkinan para pembaca buku ini (Filsafat Ilmu) pasti akan mengerti isi dalam buku ini.
          Menariknya lagi, pengarang menyampaikan penekanan pada aspek sarana berpikir ilmiah, terutama mengenai hubungan bahasa dengan ilmu. Suatu hal yang sangat patut dipuji  karena orang Indonesia banyak yang tidak menyadari betapa erat hubungan bahasa dan penguasaan bahasa dengan berpikir secara ilmiah (scientific thinking). Misalnya bahasa Jerman, beserta strukturnya, sangat baik untuk mengutarakan analisis yang berat. Misalnya pikiran metafisika, epistemologi, dan ilmiah. Kemudian, bahasa Prancis, sangat baik untuk mengutarakan ide. Oleh sebab itu, para ahli bahasa Indonesia, beserta para ilmuwan, memunyai kewajiban moral menyempurnakan bahasa Indonesia, agar dapat berfungsi sebagai bahasa ilmiah bukan saja dalam menciptakan istilah-istilah baru, tetapi juga menyempurnakan struktur dan kaidah-kaidahnya. Apalagi bila diaplikasikan dengan masa sekarang. Semakin banyak kata-kata baru yang diciptakan generasi muda Indonesia, untuk berkomunikasi sehari-hari. Tetapi tidak disempurnakan agar bisa dipergunakan sebagai bahasa ilmiah.
          Terlepas dari ide-ide segar yang disampaikan pengarang, tetap saja ada sedikit hal yang ganjil di mata pembaca. Ada materi yang dibahas berulang-ulang. Contohnya, tentang metode ilmiah.
          Penyampaian masalah pada buku tersebut cenderung bertele-tele dan tidak to the point. Untuk itu disarankan, membaca secara berurutan agar bisa memahami subbab materi selanjutnya, sebab antarmateri semuanya saling terkait. Ini bukan berarti menyebutnya sebagai suatu kelemahan. Karena kembali lagi kepada sasaran buku ini. Bahwa pembahasan ditujukan kepada orang awam yang ingin mengetahui aspek kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan ditujukan kepada mereka yang menjadikan filsafat ilmu suatu bidang keahlian.
          Muatan buku yang membahas seluk-beluk ilmu ini berkisar atas tiga macam pertanyaan. Yang pertama, Apa itu ilmu dan apa saja yang dikaji dalam ilmu? Yang kedua, Bagaimana cara menghasilkan ilmu? Yang ketiga, Apa manfaat dan nilai ilmu bagi manusia? Ketiga pertanyaan inilah yang berturut-turut dikenal sebagai ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu.
          Buku karangan Jujun S. Suriasumantri ini sangat cocok dibaca kalangan manapun yang ingin mendalami aspek filsafat ilmu secara luas. Bukan hanya cocok sebagai referensi kuliah, namun juga cocok dibaca santai, karena penyajiannya bersifat populer. Jadi, dengan membaca buku ini maka pemahaman filsafat pembaca akan bertambah sehingga lebih mampu mengkritisi kasus-kasus dalam kehidupan nyata yang berkaitan dengan filsafat ilmu.
          Buku pembanding dalam laporan bacaan (book report) ini adalah buku yang berjudul “Filsafat Umum: Konsepsi , Sejarah dan Alirankarangan Prof. Dr. H. Suhar AM, M.Ag. yang diterbitkan oleh Gaung Persada Press Jakarta pada cetakan kedua (Maret 2010). Perbandingan ini sebagai bahan telaah persamaan maupun perbedaan dari isi kandungan kedua buku tersebut. Hasil telaah buku yang dibaca tersebut berwujud komentar.
          Komentar pertama dari buku pembanding yakni  bahasa yang disajikan lebih mudah dipahami karena struktur kalimat yang ditulis pengarang sudah lebih baik jika dibandingkan dari buku Jujun yang kalimat terkesan panjang-panjang. Selain itu, kata-kata pun sederhana sedangkan pada buku Jujun banyak pemubaziran kata dan ketidakbakuan kata.
          Selain itu, ada kekurangan dari buku Suhar yaitu tidak disisipkan  karikatur, syair, dan anekdot. Terkesan serius. Jika buku Jujun, disela-sela isi buku sengaja memanjakan pembaca dengan ilustrasi gambar yang agak bernuansakan humor sehingga pembaca diberi kesempatan untuk rileks sebentar ketika membaca buku tersebut.
          Suhar di isi bukunya, lebih condong memaparkan perjalanan sejarah dari masa ke masa dan perkenalan biografi tokoh-tokoh dunia yang berjasa di bidang ilmu filsafat.

IV.        PENUTUP
               Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan, jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
               Kalau ilmu diibaratkan sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh. Filsafat timbul karena adanya khayalan dan imajinasi, kebimbangan atau keraguan yang menimbulkan pertanyaan, masalah dan kemudian rasa ingin tahu akan sesuatu yang bermuara pada sebuah  renungan kebijakan sesuatu kebenaran. Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Objek materinya semua yang ada.
               Tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal. Filsafat pertama kali muncul di yunani dikarenakan di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Pada abad pertengahan filsafat berwatakkan teologis (kristen), agama merupakan simbol dari sebuah revolusi.
               Pada zaman modern filsafat tidak lagi berwatakan agama ataupun penguasa tetapi lebih bersifat individualitas. Pada zaman baru ini filsafat merupakan sebuah metode untuk mencapai kebenara. Di mana manusia itu bukan hanya objek bukan pula kesadaran, tetapi manusia menyatu dalam stuktur sehingga selalu mengonstruksi. Perkembangan filsafat pada pascamodern ini mengacu kepada keyakinan yang relevan bahwa tidak ada denominator, semua bersifat objektif dan semua sistem manusia beroperasi.
DAFTAR PUSTAKA

Suhar. 2010. Filsafat Umum: Konsepsi , Sejarah dan Aliran. Jakarta:           Gaung Persada Press.
Suriasumantri, Jujun Suparjan.. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar