Misdianto
|
Entahlah!
Ketika ia ada dihadapanku
mengobral angan-angan
yang berbuih-buih
tanpa menghiraukan tangisan kalbu ini
yang penuh berbagi
semuanya beringin
di dalam menjerit sekuat-kuatnya
agar dunia mau mengerti
tapi tak mau mengerti
Ia berujar:
Engkau
bisa membawa Lautan Atlantik !
Engkau bisa membawa segunung emas !
Engkau
bisa meraih matahari !
Engkau
bisa mendapatkan gedung bintang sembilan !
Engkau bisa ke bulan !
Biar berat,
dengan enteng kubilang saja:
entahlah!....
entahlah!
...
entahlah
..., dunia!
Amin......!
Lantaklah!
Sudah capek
bibir ini mengajar
Beribu kali kuhadiskan
kepadanya
Beribu kali ia
pentalkan
Sepertinya ia
sudah kebal
Bagaimana lagi menjerat
akunya
yang sudah
membatu
kalimat-kalimat
sudah bersyair:
namun jadilah ia
embun
tapi ia beri
bara
kupingnya telah
terkunci
tak mau pil
kata-kataku
jadilah, muak
kutelan sendiri
Akhirnya,
kukatakan
padanya:
Lantaklah ...
engkau!!!
Enyahlah!
Enyahlah !
Segala itu enyah
yang tak
berenyah
Kumohon
Jangan singgah
Usah usik
Pupuskan yang
lalu
Kutak mau lagi
Kau campuri
Lembaran-lambaran
hari-hariku,
enyahlah:
kataku
?
Mengapa Menulis
Naluriku sedang
berkecambuk seperti
dunia ini
Lalu,
Kupinta bahteraku
mengubah dunia,
kupinta
orang-orang mengubah dunia,
kupinta pembesar
negeri ini mengubah dunia,
tapi apa:
semuanya omong kosong
Aku pun berkaca
pada dunia
tak ada guna
bicara seribu kata
karena semua pada
tutup telinga
karena
berlapisnya kuasa biokrat
Kuperalih
menjadi arsitek kata-kata
menjadi kalimat
dalil-dalil
Ternyata aku
bisa merangkul dunia dalam kata-kata
Kata-kata
menuliskan dunia
mempersepsikan
warna alam pikiran
Kita
Negeri Seribu Kontroversi
Negeri ini lucu,
katanya negeri
hukum nyatanya keadilan seperti di pasar-pasar
Lihatlah, rakyat
melata divonis lantaran garis telah berpihak
hanya sepotong
ubi penganjal perut
Sedangkan yang
berkuku mengisi perut bank-bank bermilyaran
Mereka santai
berlengang atas keringatnya rakyat
Negeri ini aneh,
katanya negeri
surga nyatanya kok masih dijajah batinnya
Semuanya serba
luar katanya menjual kualitas
lagi-lagi rakyat
menjadi imbas keserakahan
Semua berlindung
atas nama Undang-Undang
dan
dijungkirbalikkan atas nama Undang-Undang
Berpolitik sudah
menjadi barang dagangan saja di negeri ini.
Oh, negeriku
berhentikan berkontroversi.
Kurindu padamu.
Misdianto, lahir di Pekanbaru tanggal 4 Maret 1973. Memiliki nama
pena Rikar Rikardo. Adalah alumni SMA Negeri 1 Pekanbaru (1993) dan memperoleh
gelar sarjana dari FKIP Universitas Riau (1998). Sekarang Beliau bekerja
sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri Plus Provinsi Riau dan kini
Beliau tercatat melanjutkan studi sebagai mahasiswa Pascasarjana jurusan
Konsentrasi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Padang. Beberapa
karya tulis Beliau berupa artikel, puisi, dan pantun pernah di terbitkan di
Harian Riau Pos dan Koran Riau. Beliau getol belajar dan mencintai mayapada
tulis-menulis sebagai bagian dalam hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar