Sabtu, 27 Juli 2013

puisiku


Misdianto

  
   Entahlah!
Ketika ia ada dihadapanku
mengobral angan-angan
yang berbuih-buih
tanpa menghiraukan tangisan kalbu ini
yang penuh berbagi
semuanya beringin
di dalam menjerit sekuat-kuatnya
agar dunia mau mengerti
tapi tak mau mengerti
            Ia berujar:
            Engkau bisa membawa Lautan Atlantik !
             Engkau bisa membawa segunung emas !
             Engkau bisa meraih matahari !
             Engkau bisa mendapatkan gedung bintang sembilan !
             Engkau bisa ke bulan !
Biar berat,  
dengan enteng kubilang saja:
 entahlah!....
            entahlah! ...
                        entahlah ...,  dunia!
Amin......!




           Lantaklah!
Sudah capek bibir ini mengajar
Beribu kali kuhadiskan kepadanya
Beribu kali ia pentalkan
Sepertinya ia sudah kebal
Bagaimana lagi menjerat akunya
yang sudah membatu
kalimat-kalimat sudah bersyair:
namun jadilah ia embun 
tapi ia beri bara
kupingnya telah terkunci
tak mau pil kata-kataku
jadilah, muak
kutelan sendiri
Akhirnya,
kukatakan padanya:
Lantaklah ... engkau!!!










Enyahlah!
Enyahlah !
Segala itu enyah
yang tak berenyah
Kumohon
Jangan singgah  
Usah usik
Pupuskan yang lalu
Kutak mau lagi
Kau campuri
Lembaran-lambaran
hari-hariku,
enyahlah:
kataku
?











Mengapa Menulis

Naluriku sedang berkecambuk seperti
dunia ini
Lalu,
Kupinta bahteraku mengubah dunia,
kupinta orang-orang mengubah dunia,
kupinta pembesar negeri ini mengubah dunia,
tapi apa: semuanya omong kosong
Aku pun berkaca pada dunia
tak ada guna bicara seribu kata
karena semua pada tutup telinga
karena berlapisnya kuasa biokrat
Kuperalih menjadi arsitek kata-kata
menjadi kalimat dalil-dalil
Ternyata aku bisa merangkul dunia dalam kata-kata
Kata-kata menuliskan dunia
mempersepsikan warna alam pikiran 
Kita









Negeri Seribu Kontroversi
Negeri ini lucu,
katanya negeri hukum nyatanya keadilan seperti di pasar-pasar
Lihatlah, rakyat melata divonis lantaran garis telah berpihak
hanya sepotong ubi penganjal perut
Sedangkan yang berkuku mengisi perut bank-bank bermilyaran
Mereka santai berlengang atas keringatnya rakyat
Negeri ini aneh,
katanya negeri surga nyatanya kok masih dijajah batinnya
Semuanya serba luar katanya menjual kualitas
lagi-lagi rakyat menjadi imbas keserakahan
Semua berlindung atas nama Undang-Undang
dan dijungkirbalikkan atas nama Undang-Undang
Berpolitik sudah menjadi barang dagangan saja di negeri ini.
Oh, negeriku berhentikan berkontroversi.
Kurindu padamu.
Misdianto, lahir di Pekanbaru tanggal 4 Maret 1973. Memiliki nama pena Rikar Rikardo. Adalah alumni SMA Negeri 1 Pekanbaru (1993) dan memperoleh gelar sarjana dari FKIP Universitas Riau (1998). Sekarang Beliau bekerja sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri Plus Provinsi Riau dan kini Beliau tercatat melanjutkan studi sebagai mahasiswa Pascasarjana jurusan Konsentrasi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Padang. Beberapa karya tulis Beliau berupa artikel, puisi, dan pantun pernah di terbitkan di Harian Riau Pos dan Koran Riau. Beliau getol belajar dan mencintai mayapada tulis-menulis sebagai bagian dalam hidup.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar