Senin, 09 Desember 2013

analisis wacana



Deskriptif Analitik Terhadap Hegemoni, Marjinalisasi, Delegitimasi, Ekslusi, dan Ekskomunikasi dalam Teks Berita tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pada Harian Kompas Terbitan Oktober 2013

Oleh:
MISDIANTO
NIM. 1209077

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG

BERITA 1:    Analisis Wacana pada Teks Berita pada Harian Kompas Tertanggal Selasa (8/10/2013), Judulnya ”TKW Sukabumi Disiksa sampai Lumpuh di Arab Saudi”
1.   Hegemoni
     Hegemoni yang terdapat pada teks berita 1 berasal dari majikan Kokom di Arab Saudi, Kholifah Al Mudib dan Munah Ilham Muhamad Rizky. Alasannya, majikan dari Kokom menyalahgunakan kekuasaannya sebagai majikan yaitu dengan menyiksa Kokom. Dan, seharusnya hegemoni (kekuasaan) di sini adalah penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kelompok dominan dengan proses damai tanpa ada kekerasan.
2.   Marjinalisasi
a)  Penghalusan Makna Kata
  Dijumpai pada kata “pembantu” yang digantikan dengan kata “TKI”. Makna kata  
  “TKI” itu memiliki nilai rasa yang lebih sopan karena tidak menyinggung    perasaan orang dan kata tersebut lebih akrab dipendengaran kita atau dengan kata lebih enak  didengar. Antara si pengucap (penyampai maksud) dan si lawan bicara
  sama-sama persepsi positif, tidak terjadi penegangan urat syaraf di antara
  keduanya.
b)   Pengasaran Makna Kata
Kata “memberi pelajaran” seharusnya disampaikan namun ternyata dipertukar dengan kata “disiksa”. Barangkali ini dimaksudkan agar terkesan “wah” dan seolah-olah berita menjadi masalah besar serta patut untuk diikuti berita selanjutnya, sayang dilewatkan.
c)    Labelisasi
       Penyebutan TKW, banyak orang  menyamakannya dengan “pembantu” atau “budak”. Jadi, pengecapan (memberian label) sebagai TKW agar dimaksudkan tidak terjadi konotasi jelek yang berlebihan sehingga jalan tengah adalah dengan kesepakatan penyebutan terhadap kata TKW,  jangan menjadi kelas rendahan betul. Jadi, fungsi pelabelan tersebut untuk mengangkat derajat seseorang atau membantu nilai gengsi sebagai manusia yang bermartabat. Karena manusia di mata Allah SWT adalah sama, yang membedakannya adalah amalannya selama hidup di dunia.
c)    Stereotipe
Kata “TKW” diartikan sebagai figur positif karena sebagai sosok yang ulet dan mandiri, mau bekerja demi keluarga tercinta walau mesti berpisah cukup lama. Sedangkan, kata “majikan” merupakan seorang figur yang dideskripsikan negatif. Hal ini dikarenakan sosok yang tak mandiri dan tak mementingkan perasaan. Kadang ringan tangan akibatnya banyak kita dengar di berita-berita media massa yang menginformasikan tentang itu. Sampai-sampai ada yang  menjadi lumpuh, cacat seumur hidup, tak dibayarkan gajinya, perbuatan tak senonoh, bahkan ada yang tewas di tangan majikannya sendiri. Itulah, kekejaman dari sosok majikan. Yang tak adilnya lagi, malah kebal dengan hukum. Sungguh ironis.
d)    -    Delegitimasi
TKW adalah sosok rendahan karena seorang TKW atau pembantu, tidak boleh banyak menuntut alias tidak memiliki hak atas majikannya.
-             Legalisasi
  Majikan dianggap sosok yang pantas untuk memperoleh predikat sebagai figur publik kelas atas yang bermartabat karena ia mempunyai hak yang lebih besar porsinya atas pembantu yang bersangkutan.
4.    Ekslusi
Ekslusi pada teks berita 1, ialah ia (TKW/ pembantu) selama 14 bulan bekerja di luar negeri (Arab Saudi) tetapi selama itu pula gajinya tak dibayarkan. Dengan arti lain, sama sekali tidak mendapatkan gaji dari majikannya.
5.    Ekskomunikasi
Tersurat pada berita 1 tersebut bahwa Kokom telah melapor masalahnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam urusan hukum yakni aparat berwajib alias polisi. Bahwa inti dari isi berita yang dilaporkan itu yaitu  “Konsulat Jenderal RI”  di Arab Saudi tidak bekerja secara maksimal. Mereka sudah kurang rasa kepedulian atau sudah hilang kepedulian tersebut. Mengapa saya berkata demikian? Karena konsulat jenderal kita tak tanggap tentang apa yang terjadi di sana. Bahkan, sudah dilaporkan pun ke konsulat jenderal RI atas tindakan majikannya selama 14 bulan itu, tetapi masih belum mendapat “angin segar” atau respon dari masalah ini. 

BERITA 2:   Analisis Wacana pada Teks Berita pada Harian Kompas tertanggal Rabu (16/10/2013) dengan Judul ”Ratusan TKI Dipulangkan dari Arab Saudi”
1.    Hegemoni
Hegemoni pada teks berita 2 ini, adalah tertuju ke pemerintah Arab Saudi. Karena negara tersebut, memiliki kekuasaan terhadap diapakan atau diperlakukan seperti apa nasib TKI. TKI mau dipulangkan ataukah tak dipulangkan, itu urusan mereka.  Urusan berkaitan dengan kenegaraan  menjadi wewenangnya, tak boleh campur tangan negara lain karena negara memiliki wilayah teritorial kedaulatan.
2.     Marjinalisasi
Di dalam teks berita 2, menggambarkan tentang nasib TKI yang harus menerima kodratnya di negeri orang. Mereka dimarjinalkan oleh Arab Saudi sebagai “pendatang haram” dan   status mereka over stay.
3.     Delegitimasi dan Legalisasi
Fakta yang menjadi penyebab atau sebagai agar permasalahan mengapa para TKI tersebut dapat sampai dan bekerja di “negeri orang” yang jauh ini adalah sekitar 70% mereka merupakan TKI yang menggurus keberangkatan ke Arab Saudi menggunakan visa umroh. Memang ditinjau dari legalisasi, khususnya menurut pandangan para ahli hal ini dianggap lebih memudahkan. Namun, menurut pemerintah RI hal ini tidaklah sesuai atau telah menyalahi prosedur.  Makanya, terjadilah delegitimasi ini. Di antara kedua-duanya, saling mempertahankan pendapat mereka. Mereka masing-masing memvonis diri bahwa merekalah yang benar-benar merasa benar. Akhirnya, munculkan konflik ke permukaan di antara keduanya.
4.     Ekskomunikasi
Dinyatakan bahwa 30% TKI resmi yang melarikan diri dari rumah majikannya akibat tidak ada kecocokan selama bekerja di rumah majikannya. Mereka dikucilkan oleh masyarakat di sana, negara Arab Saudi, sehingga mereka memutuskan untuk melarikan diri.
BERITA  3:   Analisis Wacana pada Teks Berita pada Harian Kompas tertanggal Kamis (17/10/2013) Berjudul ”16 PRT Indonesia Ditipu dan Ditinggalkan di Gurun Pasir Saudi”
1.   Hegemoni
Hegemoninya yaitu sebelum ditangani oleh polisi, 16 PRT Indonesia di bawah kekuasaan penyelundup yang membawa mereka. Karena yang mengurusi mereka sejak awal adalah penyelundup. Dan, mereka pun telah dibayar mahal oleh PRT (TKI). Makanya, penyelundup punya hak pula ikut campur dalam urusan PRT ini.
2.   Marjinalisasi
a)   Penghalusan Makna Kata
Di dalam teks tersebut dikatakan bahwa PRT tidak memiliki dokumen resmi. Ini jelas bahwa secara tidak langsung , PRT merupakan imigran gelap. Para imigrasi gelap diperlakukan diskriminasi oleh negara penerima (Arab Saudi).
b)   Labelisasi
Pembantu Rumah Tangga (PRT) dilabeli sebagai kelas rendahan karena mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negara lain.
3.    Delegitimasi
Penyelundup adalah orang  atau kelompok yang tidak benar, ini menurut hukum dan pemerintah RI. Karena mereka menurunkan PRT ke negara tujuan secara tidak bertanggung jawab, ditelantarkan.
4.   Ekslusi
Menjadi PRT (Pekerja Rumah Tangga) dianggap rendah di mata masyarakat kita dan ada yang mengucilkannya karena mereka mudah ditipu oleh orang lain. Mereka menjadi bahan pembicaraan masyarakat, tetapi mereka dipandang lain seperti sebagai golongan masyarakat yang paling bodoh, mau saja ditipu oleh agen tenaga kerja luar negeri dengan bayaran mahal lagi.
BERITA  4:    Analisis Wacana pada Teks Berita pada Harian Kompas Tertanggal Jumat (18/10/2013)  berjudul ”16 TKI Telantar di Gurun Pasir Arab Saudi, SBY Jangan Sibuk Urus Bunda Putri”
1.   Hegemoni
Presiden SBY diminta turun langsung dengan membentuk semacam lembaga khusus penanganan kasus 16 TKI di Arab Saudi. Karena posisi kunci adalah presiden makanya Beliau sebenarnya memiliki wewenang besar untuk mengatasi kemelutan yang melanda TKI di luar negeri sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia . Tetapi, sungguh-sungguh disayangkan, beliau (SBY) malah sibuk mengurusi soal Bunda Putri (tersandung kasus suap) daripada soal TKI sebagai marwah bangsa yang menjadi taruhannya.
2.   Marjinalisasi
a)  Penghalusan Makna Kata
Kata “istri orang’ digantikan dengan kata “Bunda Putri’. Hal ini sengaja di familiarkan supaya adanya yang bertanya-tanya siapa “Bunda Putri” itu. Apakah namanya Bunda Putri adalah nama sebenarnya? Lalu, mengapa pula  sampai dibawa-bawa ke istana kepresidenan? Inilah namanya politik penghalusan bahasa. Bahasa memegang peranan penting dalam mendinginkan suasana.
b)   Pengasaran Makna Kata
Kata “TKI” dipertukarkan dengan kata “komoditas bisnis”. Seakan-akan manusia itu dapat diperjualbelikan bak barang dagangan atau sapi perahan. Di kata “komoditas bisnis” dianggap sebagai produk kebanggaan bangsa yang patut di impor. Marwah sebagai manusia dinomorduakan. Yang penting masukan devisa negara dan TKI adalah obyek pelaksananya di lapangan.
c)   Labelisasi
            SBY dicap atau dilabeli sebagai pemimpin yang tak peduli sama sekali pada persoalan-persoalan terbaru dan terbesar negara. Apabila ini tubuh subur pada diri sang pemimpin (SBY) dapat membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibat imbas dari tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia yang menurun drastis.
d)  Stereotipe
Karena TKI dipandang sebagai komoditas bisnis, makanya persoalan TKI seperti lingkaran setan. Jadi, di sinilah terjadi pergeseran nilai-nilai yaitu nilai negatif terhadap persoalan TKI yang tak ada ujungnya alias tak selesai-selesai masalahnya tersebut, sungguh kompleks. Membuat pusing pemerintah RI, bagaimana menangganinya secara tepat sampai tuntas.
3.     -   Delegitimasi
              SBY yang sibuk mengurusi soal Bunda Putri (kasus suap yang melibatkan nama SBY) itu adalah problematika diluar kepentingan yang sangat penting. Yang tak terlalu penting didahulukan, sedangkan yang sangat urgen malah diesampingkan. Sungguh tak tepat hal  itu. Penilaian tersebut langsung menurut mata masyarakat yang memandangnya, mana urusan negara dan mana urusan pribadi semestinya bisa dipilah-pilah. Kita ketahui bahwa masyarakat sudah cerdas dalam menilai kinerja pemimpinnya.
-        Legalisasi
Terberitakan: 16 TKI telantar. Kasus ini dilegalkan karena salah mereka sendiri, mengapa main sembunyi-sembunyi (main kucing-kucingan). Siapa yang berbuat dialah yang menanggung resikonya. Berarti di sini secara tersirat hal tersebut dilegalkan.
4.     Ekslusi
SBY adalah figur pemimpin yang kurang bagus karena menurut Indra (seorang anggota DPR RI) menganggap Beliau adalah sebagai sosok yang tidak peduli dengan negara yang dipimpinnya.
5.     Ekskomunikasi
Enam belas orang TKI yang telantar, tidak didengarkan keluh-kesah mereka. Permasalahan mereka (para TKI) sudah disampaikan kepada pengambil kebijakan negara ini (pemerintahan RI), namun tak pernah dianggap itu penting, tak digubris sama sekali alias angin lalu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar