■ Tugas ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Penulisan Ilmiah
Siaran TV, Bak Virus yang
Menggerogoti Anak
Oleh: Misdianto
NIM 1209077
Mahasiswa PPs Universitas Negeri Padang
Jurusan Bahasa Indonesia
Sebagai pengantar tulisan, saya
awali dengan secuil penggalan adegan konflik di rumah tangga. Mau tahu prolognya? Begini ceritanya, perseteruan seru ini
terjadi saat seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah. Saat itu ada siaran
langsung sepakbola dunia, antara kesebelasan Barcelona melawan Bayer Munchen. Si
ayah sangat hobi menonton sepakbola sedangkan si adik juga hobi menonton film
kartun kesayangannya. Acaranya keduanya ternyata bertepatan siarannya. Maka,
terjadilah “perang urat syaraf” dalam keluarga tersebut. Inilah dialognya.
“Adik…! Ayah sebentar nonton bola,
ya dik?” Dengan penuh harap.
“Nggak mau …! Adik, kan lagi nonton
film!” Dengan suara lantang kedua tangan di pinggang.”
“Iyaaa… nanti kalau ayah udah selesai,
adik boleh nonton lagi, kok!” Dengan nada membujuk.
“Pokoknyaaa… nggak mau. Adik mau
nonton!” Dengan nada bersikeras.
”Pokoknya ayaaah dulu, penting!”
“Nggak mau! Nggak mau! Pokoknya juga
nggaaak … mau! Titik tik… tik!”
Mendengar
kegaduhan di ruang tengah, tiba-tiba datanglah ibu dari dapur dengan wajah
keheranan.
“Eeee…ada apa-apaan ni ribut-ribut
ayah ama anak? Yah, apa nggak malu didenger ama tetangga tuh!”
“Adik…, ada apa? Kok, cemberut gitu
sih!” Suara ibu dengan lemah-lembut.
“Iya, Bu. Ayah, tu?” Nada adik
mengadu.
Begitulah Saudara, cuplikan
bentrokan sederhana di atas, acapkali dialami di rumah tangga. Memang kita ketahui
bahwa kini siaran media televisi menyuguhkan
banyak pilihan siaran. Pemirsa dari segala jenjang usia baik anak-anak, remaja,
maupun orang dewasa di mana-mana tempat dapat memilih siaran-siaran atau
acara-acara yang diminati. Mereka bisa memilih apakah siaran televisi nasional
pemerintah atau televisi swasta.
Siaran televisi swasta kini kita
ketahui sudah banyak. Televisi swasta khusus lokal atau pun berjaringan
nasional. Bahkan, kinipun sudah marak dengan adanya jaringan televisi swasta
berbayar. Semua siaran televisi tersebut berusaha membuat pemirsanya ketagihan
menonton. Dengan berbagai suguhan acara-acara yang mampu “membius” para
pemirsanya mulai dari infotainment, entertainment, iklan, sampai pada
sinetron-sinetron dan film-film berbau anarkisme.
Media masa televisi
ibarat dua sisi uang mata uang, tidak dipungkiri, ada dampak positif namun juga
mudarat/ negatifnya. Kita cepat memperoleh informasi-informasi terbaru (up to date) yang terjadi dimanapun dan
belahan dunia manapun. Selain itu, suatu perusahaan dapat mempromosikan
produk-produknya. Sehingga konsumen mengetahui dan dapat dengan mudah mencari
produk tersebut. Seterusnya, jika acaranya berkaitan dengan informasi pendidikan
tentu ini sangat berguna bagi para anak/ pelajar. Selanjutnya, media penyegaran
pikiran yang jenuh. Misalnya, dari acara kuis, film, sinetron, atau
hiburan-hiburan yang lain. Dan, juga banyak menampilkan tokoh-tokoh yang
memiliki pengaruh untuk dicontoh atau disuriteladani kesuksesan mereka.
Menurut penulis, fungsi
siaran televisi sekarang ini lebih banyak berfungsi informatif dan rekreatif
saja. Fungsi sebagai edukatif sangat sedikit sekali. Hal inilah yang
menggelisahkan atau membahayakan pendidikan anak yang masih dalam proses
pembentukan karakter. Karena sangat berpengaruh pada perkembangan kanak-kanak dan
remaja yang masih memiliki jiwa atau psikis yang belum stabil. Contoh pada
tayangan film anarkisme, sinetron mengenai kehidupan serba glamour dengan
dandanan yang “aneh-aneh” dan sikap tak mendidik, berita kriminal, pornografi
atau pun pornoaksi adalah beberapa acara yang tidak patut ditonton oleh kanak-kanak maupun remaja. Mereka rentan
meniru adegan berisiko seperti merokok, meminum minuman keras, kekerasan atau
tindak kriminal yang mereka tonton di televisi.
Kita ketahui bahwa anak
adalah harapan orangtua untuk dapat berhasil dalam belajarnya maupun masa
depannya kelak. Tidak jarang kini banyak anak-anak lebih suka berlama-lama di
depan televisi daripada belajar. Bahkan, hampir-hampir malas atau lupa akan
waktu beribadah, makan, dan belajar. Jika ini dibiarkan akan merusak kesehatan
seperti mata. Mata perlu istirahat. Serta dapat menghambat perkembangan
berbahasa/ komunikasi/ berbicara. Bahkan, dapat menganggu konsentrasi pikiran
anak atau pelajar dalam menangkap pelajaran mereka, mudah bosan.
Anak-anak yang secara
konsisten menonton lebih dari 4 jam perhari akan cenderung memiliki obesitas
(kelebihan berat badan). Lantas, anak-anak yang menonton tindak anarkis lebih
berpotensi meniru untuk menunjukkan perilaku agresif. Yang pasti, tontonan televisi
juga dapat meningkatkan daya konsumtif. Siapa pun bisa menjadi “korban” iklan,
baik orang dewasa maupun anak-anak atau kaum remaja. Nah, inilah yang patut
menjadi kesadaran atau perhatian khusus kita bersama sebagai orangtua untuk
selalu mengontrol atau mewaspadai aktivitas anak-anak kita.
Untuk menangkis
dampak-dampak negatif/ buruk yang ditimbulkan dari siaran-siaran televisi, maka
ada beberapa “resep” yang bisa kita lakukan oleh setiap orangtua. Pertama, batasi kuantitas anak/ pelajar
menonton televisi tidak lebih dari 2 jam perhari. Logikanya, 4 buah film kartun
berdurasi 30 menit masing-masing. Kedua,
berikan komitmen kepada anak-anak untuk tidak menonton sebelum berangkat
sekolah. Alasannya, perpindahan adegan dalam sebuah tayangan sangat cepat. Konon,
setiap 7 detik. Akibatnya, konsentrasi penonton/ pemirsa pun ikut terbawa cepat
untuk mengikuti perpindahan cerita tersebut. Sedangkan, di sekolah sang anak/
pelajar harus memulai belajar dengan ritme yang lambat. Ketiga, untuk pengurangan “kecanduan” menonton bisa disiasati
dengan menyetel siaran radio. Keempat,
sediakanlah sarana edukatif alternatif misalnya menambah koleksi buku dan alat
menggambar. Kelima, pilih acara yang
sesuai dengan usia anak.
Selanjutnya, keenam, dampingi dan awasi saat anak
menonton televisi. Tujuannya agar acaranya selalu terkontrol, layak atau tidak
untuk ditonton. Dan, letakkan televisi di ruangan yang strategis agar dapat
dipantau karena kecenderungan rasa ingin tahu anak-anak sangat tinggi. Ketujuh, memberikan
penjelasan-penjelasan pada anak apabila ada tayangan yang tidak sesuai. Ini
bertujuan untuk mengantisipasi pada anak/ pelajar hal-hal yang salah arti dalam
memahami suatu tayangan. Dan terakhir, kedelapan,
memberikan pendidikan yang mengandung nilai-nilai agama yang harus selalu
diterapkan dan ditumbuhkan di rumah. Yaitu dengan cara mengikutsertakan
pendidikan keagamaan di luar jam sekolah agar anak-anak kita mendapatkan bekal
nilai-nilai agama. Sehingga mampu berpikir jernih, punya rencana dan masa depan
yang cerah. Apabila ditumbuh-kembangkan pendidikan agama kepada anak-anak
niscaya apapun arus informasi yang bersifat negatif, datang dari luar atau pun
dari kecanggihan teknologi, tidak akan berpengaruh bagi anak-anak karena sudah
memiliki bekal dan filter guna
menyerap atau menyaring informasi-informasi yang sifatnya negatif.
Tempat pendidikan paling
utama adalah: ke-lu-ar-ga. Di mana
orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab. Mengapa mesti orangtua?
Hal ini lantaran orangtua bisa mengawasi anaknya lebih lama. Orangtua dekat
dengan anaknya. Dalam keluarga, anak tumbuh dan berkembang. Membiarkan anak
menonton televisi secara berlebihan, berarti membiarkan tumbuh-kembang dan
pendidikan anak terganggu. Orang tua juga berkewajiban untuk memantau aktivitas
belajar anak di rumah. Perkembangan si anak tak bisa terlalu dibebankan pada
sekolah.
Dalam keseharian, guru di
sekolah tak akan bisa menggantikan peran orangtua. Oleh karena itu, menjadi
suatu keharusan bagi orangtua untuk tetap memperhatikan si anak selama berada
di rumah. Maka, janganlah pernah
serahkan anak-anak untuk dididik siaran televisi. Kita sebagai orangtua adalah
guru pertama dan utama bagi anak-anak untuk membiasakan mereka mengonsumsi
siaran televisi secara sehat. Sekarang terserah Anda, mau pilih yang mana? Coba
pikirkan dan camkan! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar