Sabtu, 08 Juni 2013

cerpen kritik sosial



Mendadak Artis
Karya Misdianto
NIM 1209077

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Padang
 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

                                     
            Lho, itu kan Boesya? Kok bisa masuk televisi?” aku berteriak kaget.
            Saat itu aku dan Wak Adi, sahabatku, sedang tonton acara musik di televisi. Dan, tiba-tiba , aku melihat bahwa si pengisi acara di televisi itu adalah Boesya, mantan seniorku di sekolah. Orangnya ganjen, padahal badan seperti lidi.
            “Nggak tahu kamu, nih?” sahut Wak Adi memandangku.”
            “Tahu apa?”
            “Si Boesya kan jadi artis dadakan, hi...hi... Padahal nyanyi Indonesia Raya saja, Fals,” Wak Adi terkikik geli mengingat Boesya.
            Aku syok. Mulutku jadi gagu.
            Kok... bisa, ya?”
            “Katanya sih ikutan kontes bakat begitu. Eh, tepat tengah jalan tereleminasi. Tetapi, anehnya  masa ada produser rekaman menawarinya kontrak. Yah, begitu deh jadinya. Dia buat single,” Wak Adi geleng-geleng kepala prihatin.
            “Kali aja tuh produser putus asa nggak? Masak penyanyi nggak bermutu begitu dijadikan artis? Bikin rugi doang...”
            Aku terdiam mendengar penuturan Wak Adi.
            “Boesya saja bisa jadi artis. Mengapa aku tak bisa?”
            Berbekal cerita Wak Adi, aku jadi ingin jadi artis juga. Masak aku kalah dengan si Ganjen Boesya! Tak bisa! Pasti dia mengejekku lantaran dia bisa jadi artis. Dan karena itulah, aku sekarang di sini. Di kantor pendaftaran suatu kontes bakat untuk mengikuti audisi. Usah ditanya, aku gugup. Tuhan... bantulah aku! Rasanya aku jadi menyesal daftar audisi.
***
            Yah, setelah audisi tadi aku tak cemas. Aku memang percaya diri dengan suara lumayanku ini. Tetapi...
            “Wan Rafiq!” aku terkejut. Ternyata namaku lulus audisi. Ini berarti, aku akan ikut acara pentas di televisi.
            Ha... ha... jadi begini rasanya jadi artis. Lewat sedikit diperhatikan atau tidak. Orang-orang pada minggir memberi jalan untukku, atau ini gara-gara kutak mandi tadi pagi? Ha... ha... . Aku terasa istimewa. Sudah cukup lama juga sejak keikutsertaanku di kontes bakat suatu stasiun televisi swasta. Dan, semenjak itu, semua orang lewat pasti kenal aku, bahkan ada yang minta foto!
            Memang, suaraku masih kalah dengan kontestan lain. Tetapi, aku juga belajar, terus melatih suaraku. Namun, akibat dari ini? Aku tak menyangka juga jika mau terkenal itu capek. Sekolahku yang tiap hari kadang mesti bolos gara-gara latihan vokal buat tampil. Sebenarnya aku tidak bakal bolos kalau acaranya, yah..., sebulan sekali di televisi. Bukannya sekali seminggu. Tetapi, mau bagaimana, aku tak mungkin mundur sekarang. Dan, aku juga tetap ingin mengalahi Boesya si Ganjen itu! Yah, jadi inilah akibatnya. Aku mesti merelakan sekolah. Toh, hanya beberapa bulan. Dan, aku juga tak mau kehilangan fans dan membuat mereka kecewa.
***
            Aku tak tahu dari mana bencana ini dimulai, awalnya kukira jadi artis hanya mesti mengorbani sekolah. Tetapi, ternyata ....
            “Nih, kamu sudah menonton gosip belum?” Wak Adi menghampiriku. Walau jarang bermain bersamanya sekarang. Ia tetap baik padaku.
            “Apaan? Jupe-Depe berantem. Kasihan!” sahutku sambil tetap fokus pada PR kimiaku yang belum siap.
            “Bukan itu!” sahut Wak Adi cepat.
            “Terus?” sahutku lagi.
            Wak Adi membisikkan sesuatu di telingaku. Dan, makin lama mendengarnya, mulutku makin terbuka lebar. Tanpa ba-bi-bu lagi. Aku segera berlari ke kantin dan meninggalkan Wak Adi. Aku harus mencari koran.
***
            Aku terdiam, tak sanggup melihat berita itu. Bayangkan, aku dituduh menyogok juri. Aku dituduh menyogok juri karena suaraku dianggap tak layak tampil. Aku selalu dua terbawah. Namun, aku selalu lolos. Dan, kuakui suaraku masih kalah dengan peserta lain. Tetapi menyogok. Itu bukan aku. Dengan geram, kuremukkan koran itu dan membuangnya.
            Sejak berita itu tersebar, orang-orang banyak menghinaku. Aku jadi takut ke mana-mana. Takut dicerca. Takut diolok. Akibatnya, penampilanku minggu ini tak begitu baik. Penontonnya juga banyak yang mengejekku. Aku malu untuk tampil rasanya. Setelah penampilan itu, SMS untukku makin merosot. Bahkan diprediksi, aku yang akan keluardari kontes bakat itu. Tetapi, aku tak bisa berpikir banyak, terlalu banyak yang menerorku. Aku tak mampu berpikir jernih, Aku tak bisa menyangka bahwa inilah dunia artis, kejam dan sekejap.
            Dan, saat penampilan minggu berikutnya dimulai, aku dilempari saat manggung. Akibatnya, acara harus dihentikan. Namun, polling tetaplah bergulir. Aku harus tereleminasi malam itu dengan rasa malu yang tak tertanggungkan. Aku menangis. Bukan inilah dunia yang kuimpikan.
            Setelah tereleminasi, kehidupanku normal kembali. Memang masih banyak yang menghinaku. Tetapi aku sudah biasa. Yang penting aku lega. Aku tak lagi dipermalukan media. Lagi pula daripada itu, setidaknya masih ada seorang sahabat terbaik bagiku, Wak Adi. ***
-- Selesai –


(Cerpen ini terinspirasi dari kehidupan dunia artis kita di berita media-media massa cetak/ elektronik)


                                     
                                     




Tidak ada komentar:

Posting Komentar