Sabtu, 08 Juni 2013

CERPEN INSPIRASI (KRITIKAN TERHADAP PEMERINTAH)



Balada Tanah Sengketa
Karya Misdianto
NIM 1209077

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Padang
 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


            “Saya sudah berkali-kali katakan. Ini tanah sertifikat legal, hak milik saya sepenuhnya. Jadi, terserah saya mau jual atau tidak!” ujar Wak Atan dengan penuh emosi. Sebegitu penuhnya sehingga seluruh tetangga harus keluar rumah mereka untuk melihat apa yang terjadi. Wajar sebenarnya, karena memang tanah itulah hartanya tinggal. Wak Atan sudah lama di-PHK, semenjak era orde baru berakhir yang mengakibatkan krisis ekonomi. Rupanya, fluktuasi ekonomi bangsa mengakibatkan penurunan pada kurva keuntungan Wak Atan. Bukan hanya hilang kerja. Ia juga kehilangan istri, yang tak betah dengan menganggurnya suaminya. Dan, memilih lari dengan lelaki lain. Adapun anaknya, sudah lama meninggal dunia.
            “Tapi, Pak. Ini demi kemakmuran kita bersama. Jika jalan ini selesai, maka kota kita akan terkenal. Sebagai kota pertama di kabupaten ini yang punya jalan tol. Ibukota kabupaten, bahkan provinsi saja  belum punya. Kita sudah. Bukankah ini akan meningkatkan ekonomi kita?” tanya Pak RT dengan cukup lembut, walau hatinya sudah tak sabar.
            “Beliau sangat menginginkan jalan tol ini. Karena dengan ini, jalannya menuju jabatan bupati akan semakin mudah. Maklum, Pak RT ikut mencalonkan diri dalam pemilu. Sehingga berhasilnya jalan tol ini akan membantunya mendapatkan suara rakyat.
            “Pokoknya tidak! Sampai kapan pun tidak! Di tanah ini, milikku ini, ada hartaku satu-satunya. Yaitu nisan anakku! Aku tak akan rela nisan anakku digusur dan diganti aspal. Lalu anakku dilindas oleh roda-roda kendaraan, tidaaak! Tanda ini tidak untuk dijual. Tidak untuk ganti rugi. Tidak untuk pindah lahan. Bahkan, imbalan bupati pun, tidak! Sadarlah Pak, hati seorang ayah untuk anak, lebih mahal daripada biaya pembuatan jalan ini!” sekali lagi Wak Atan memuncak.
            Pak RT yang sedari tadi mencoba menahan emosi pun, mulai meluapkan emosinya.
            “Cukup! Aku tak butuh rengek-rengekanmu ini! Sudah empat bulan ini ditaja, sudah empat bulan pula sengketa. Tidak ada pula jalan keluarga! Apa kau mengerti perjuanganku yang calon bupati ini, hai orang udik?!”
            “Oh, jadi itu alasannya? Bupati? Inilah negara ini, kepentingan umum sudah menjadi kepentingan politik! Bupati seperti Anda pasti tidak akan memikirkan rakyat. Jangankan sudah, belum bupati saja sudah menginjak hak orang lain!”
            “Sudah! Cukup! Cukup sabar saya empat bulan! Saya beri tenggat waktu besok. Jika Anda belum juga pindah, maka akan saya ratakan Anda dan nisan itu dengan tanah! Jelasss?!”
            “Silahkan! Berbuatlah sesuka Anda! Tetapi ingat, seberapa lama pun Anda beri tenggat, tanah ini tak akan lepas! Sekarang keluaaar!” teriak Wak Atan dengan bersiap-siap mencabut parang.  Namun belum sempat tercabut, pintu sudah terbanting.
***
            Suara mesin berat membangunkan Wak Atan dari tidur siangnya. Tatkala ia melongok keluar, ia melihat ekskavator dan buldozer sudah mulai menggali dan mengaruk lahan miliknya. Dengan sangat marah, iapun segera menghambur keluar dan membawa parang serta menghunuskannya.
            “Hei, kurang ajar! Tak tahukah kalian tanah ini ada orangnya? Kalian pikir , kalian kebal hukum? Tidak! Sekarang kalian pergiii! Atau saya telepon polisi sekarang?”
            “Tak usah repot-repot, Wak. Ini polisinya sudah datang,” ujar Pak RT tib-tiba dengan beberapa polisi.
            Tanpa dikomando, tiba-tiba polisi itu langsung memborgol Wak Atan dan menggiringnya ke mobil tahanan. Wak Atan yang tidak terima, dengan sengit melawan. Namun, akhirnya tetap takluk.
            “Hei, jahanam! Keparat! Apa salahku sehingga diborgol? Jika ada yang harus ditangkap, seharusnya RT biadab itu!” teriak histeris Wak Atan.
            “Maaf, Pak. Bapak harus ikut kami sekarang karena Bapak dituduh atas pemalsuan akte tanah dan menganggu proses pekerjaan umum. Untuk itu, Bapak harus mempertanggungjawabkannya,” kata polisi tegas.
            “Apa? Hei, akteku ini asli! 100 % asli! Pasti ada yang memanipulasi. Mentang-mentang saya rakyat kecil, lalu saya dicurangi! Mau jadi apa negara ini?!!” teriak Wak Atan sengit. Namun sayang beribu sayang, bersamaan dengan ratanya nisan anak Wak Atan, Wak Atan diringkus atas kejahatan yang tak dilakukannya.
***
            Sudah empat tahun berlalu, Pak RT sudah menjadi bupati. Jalan tol sudah lama rampung. Mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Sehingga Pak RT dielu-elukan sebagai bupati terhebat. Bahkan, mendapat penghargaan dari Pak Presiden. Namun, masih adakah yang ingat dengan penipuan yang ia lakukan? Manipulasi licik yang ia rencanakan? Tidak ada yang ingat. Dengan sedikit uang, masyarakat kampung memaafkan perbuatan yang ia lakukan. Sekarang, yang tinggal cuma jalan, roda, dan nisan yang terkubur dibawahnya.  ***
--Tamat --




(Cerpen ini terinspirasi dari kasus berlarut-larutnya mengenai ganti rugi lahan Kimar Sarah untuk pelebaran Jalan Soekarno-Hatta, Pekanbaru dan masalah-masalah lainnya di media massa yang masalahnya masih sama di berita-berita nasional, yang ujung-ujungnya rakyatlah pihak yang dirugikan oleh pemerintah yang tak sebanding ganti ruginya)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar