Ups! Gara-Gara UN
Karya: Misdianto
NIM 1209077
Mahasiswa Pascasarjana Universitas
Negeri Padang
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Di sela-sela kesibukan siswa-siswi SMA
1 Bunga Harapan yang sedang asyik- asyiknya mengerjakan segala
soal-soal yang berhubungan dengan ujian nasional, datanglah berita menghebohkan
dari salah seorang siswa yang bernama Wan Abdullah.
“Kita akan melaksanakan ujian
nasional secara serentak di seluruh Indonesia tahun ini,” sahut Abdullah sambil
mengenakan pengeras suara yang ada di dalam ruang majelis guru sebelum bel
sekolah berbunyi.
Serentak sorak suka dan duka cita
terlontar dari siswa-siswi SMA 1 Bunga Harapan
yang saat itu sedang sibuk-sibuknya mengerjakan soal ujian nasional.
Bel sekolah
pun berbunyi.
“Waduhh, bel sudah berbunyi lagi?
Kesal Wan Abdullah sambil berlari mengejar-ngejar Wak Rais yang sedang menuju
tempat parkir.
“Wak Rais, bagaimana persiapanamu
dengan ujian nasional, seminggu lagi loh!
Ujar Wan Abdullah sembari menarik napas karena kelelahan berlari.
“Apa Wan Abdullah? Aku masih
santai-santai saja tuh. Soalnya kan sudah jauh-jauh hari berlatih soal-soal
UN,” sambil menatap Wan Abdullah dengan sombongnya.
Tak lama kemudian Wak Rais dan Wan
Abdullah berniat untuk mendatangi bimbingan belajar untuk menunjang nilai UN
mereka supaya mereka lulus.
Pagi itu Wan Abdullah datang dengan
tergesa-gesa sambil membawa sebuah gundukan yang ada di sebuah kantong plastik.
“Wan apa yang kamu bawa itu?” ujar
Wak Rais sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah gundukan tersebut.
“Oh, ini, kisi-kisi soal ujian
nasional, Wak! Dengan nada agak terkaget Wak Abdullah sambil berjalan menuju
kelas XII.
“Wan, ujian seminggu lagi nih, dengar-dengar pemerintah akan
membuat 25 paket yang berbeda-beda!” tutur Wak Rais sambil menyodorkan telepon
genggamnya kepada Wan Abdullah yang sedang terhubung dengan internet.
‘Iya, Wak. Aku juga sudah baca
tentang program menteri pendidikan kita tersebut!” jawab Wak Rais sambil
memasang muka penuh beban dengan menggaruk-garuk kepalanya.
“Wak, apa pemerintah tak berpikir?
Kalau dibuat seperti itu akan membuat banyak kerugian!” balas Wan Abdullah
dengan muka penasaran.
“Benar juga sih Wak. Pertama, bisa
dipastikan banyak yang tak lulus karena perbedaan paket tersebut. Kemudian
yang, kedua, pasti pemerintah sulit mendistribusikan soal-soal ke berbagai
daerah terpencil dan ujung-ujungnya soal tak sampai ke sekolah tersebut,” nada ketus Wan Rais dengan penuh ketegasan
dan keberanian.
“Huuuh! Benar juga ya, Wak. Aku
harap sekolah kita mendapatkan soal tepat waktu, ya!” harap Wak Rais dengan
penuh percaya diri sambil berjalan menuju kelas XII.
Seperti biasa hari-hari siswa-siwi
SMA 1 Bunga Bangsa hanya di isi dengan mengerjakan soal-soal ujian nasional.
Tak terasa bel pulang sekolah pun berbunyi. Sebelum pulang Wan Abdullah ingin
berbicara dengan salah satu guru favoritnya mengenai ujian nasional yang
tinggal menghitung hari, hampir dekat. Di tengah-tengah perjalanan menuju ruang
majelis guru, Wan Abdullah berpapasan dengan Bu Cik Sima. Dengan sigap Wan
Abdullah memanggil Bu Cik Sima.
“Buk! Tunggu, Buk!” teriak Wan
Abdullah sambil berlari menuju Bu Cik Sima.
“Iya, Wan. Ada apa, Wan?” tanya Bu
Cik Sima dengan nada penuh penasaran.
“Jadi begini, Bu. Bagaimana menurut
ibu mengenai rencana pemerintah yang ingin memperbanyak paket ujian nasional?
Apa imbasnya bagi kami yang melaksanakan, Bu?” tanya Wan Abdullah dengan nada
yang datar dan penuh ketenangan.
“Kalau menurut ibu ya, itu sih bagus. Itu akan membuat kalian
mandiri agar mengerjakan ujian dengan sendiri. Tanpa mengharapkan bantuan orang
lain,” jawab ibu Cik Sima sambil memegang kepala Wan Abdullah.
“Lho, Bu. Bukannya itu akan membuat
tingkat kelulusan tahun ini akan menurut drastis. Dan, artinya akan banyak
penghuni rumah sakit jiwa, Bu?” respon Wan Abdullah dengan penuh statement yang menyakinkan.
“Iya, benar. Itulah tugas kalian
kini untuk lebih giat lagi belajarnya. Agar kalian lulus 100 % tahun ini!”
sembari menuju ke parkiran mobil.
“Sudah dulu ya, Wan. Ibu masih ada
kerja ni!” ujar ibu Cik Sima dengan
tergesa-gesa.
“Oh, iya, Bu. Terimakasih ya, Bu
informasinya. Dan, hati-hati Bu di jalan!” sambil tersenyum menatap ibu Cik
Sima yang sudah pergi jauh.
Wan pun segera kembali ke rumah
dengan membawa sekumpulan soal-soal UN. Sore itu Wan berniat menanyakan
mengenai kebijakan pemerintah itu. Sesampainya di rumah dia sudah di sambut
dengan ayahnya, Wak Naryo, yang sedang minum kopi di teras rumah. Wan pun
menghampiri ayahnya itu.
“Yah, bagaimana menurut ayah
mengenai kebijakan menteri pendidikan kita tentang memperbanyak paket ujian
nasional hingga 25 paket?” tanya Wan Abdullah sambil mencicipi gorengan yang
tersedia di meja ayahnya.
“Bagi ayah itu kebijakan yang harus
didukung. Karena menurut ayah pasti pemerintah, dalam hal ini menteri
pendidikan nasional kita, ingin memperbaiki tingkat pendidikan di negara kita
ini. Dengan cara membiasakan hidup jujur, dengan dibuat 25 paket itu, kalian
akan sulit untuk berbuat kebohongan,” jawab ayah dengan panjang lebar.
“Lho, kan kasihan yang tidak
memiliki kemampuan lebih, Yah. Bisa dipastikan dia tidak akan lulus UN,” jawab
Wan Abdullah terbengong.
“Iya. Itu sih tanggung sendiri
akibatnya. Makanya kita dituntut untuk senantiasa belajar, belajar, dan terus belajar!”
jawab ayah sambil meminum sedikit-sedikit kopinya.
“Oh, iyalah Yah. Intinya Wan harus
banyak belajar. Karena ujia tinggal sebentar lagi,” jawab Wan dengan mengalah.
“Iyalah bagus itu, harus mendapat
nilai yang bagus nanti ketika UN, oke!” motivasi ayah sambil menepukkan
tangannya ke pundak Wan.
“Oke, Yah!” jawab Wan dengan singkat
karena dia mau membantu ibunya di dapur.
Tak terasa ujian nasional pun tiba.
Tak biasanya pagi-pagi begini siswa-siswi SMA 1
Bunga Bangsa telah datang ke sekolah. Ternyata
mereka sedang bertransaksi kunci jawaban untuk mata pelajaran hari ini. Hampir
pukul 07.30 WIB ujian belum di mulai. Mendadak terdengar pengumuman dari bilik
ruangan kelas XII yaitu kelas Wan Abdullah.
“Bahwa ujian nasional tidak jadi
diadakan hari ini. Dikarenakan, soal ujian nasional belum sampai dari Dinas
Pendidikan Kecamatan. Kemungkinan akan dilaksanakan hari esok, kamis.”
Mendengar pengumuman tersebut,
serentak isi seluruh kelas keluar. Dengan berbagai perasaan. Mulai dari senang,
sedih, hingga ada yang frustasi karena ujian diundur. Wan Abdullah pun selaku
ketua OSIS, angkat bicara di tengah-tengah kerumunan siswa-siswi.
“Ini semua karena kebijakan
pemerintah yang tak profesional. Seharusnya pemerintah, menteri pendidikan nasional,
memikirkan jauh-jauh hari mengenai pendistribusian soal-soal ke daerah
terpencil. Dengan mengingat banyaknya soal yang harus dicetak!” teriak Wan
sambil memegang TOA[1]
di tangannya
Akhirnya, siswa-siswi SMA 1 Bunga
Bangsa, tidak dapat mengikuti ujian secara serentak se-Indonesia. Mereka
terpaksa menunda untuk sementara sampai soal ujian tiba ke sekolah
tersebut. ***
(Cerpen ini terinspirasi dari abruradulnya pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) tahun ini dan juga tahun-tahun sebelum-sebelumnya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar