Sabtu, 08 Juni 2013

cerpen kritikan tentang ujian nasional



Ups! Gara-Gara UN
Karya: Misdianto
NIM 1209077

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Padang
 Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

            Di sela-sela kesibukan siswa-siswi SMA 1 Bunga Harapan yang sedang asyik-                  asyiknya mengerjakan segala soal-soal yang berhubungan dengan ujian nasional, datanglah berita menghebohkan dari salah seorang siswa yang bernama Wan Abdullah.
            “Kita akan melaksanakan ujian nasional secara serentak di seluruh Indonesia tahun ini,” sahut Abdullah sambil mengenakan pengeras suara yang ada di dalam ruang majelis guru sebelum bel sekolah berbunyi.
            Serentak sorak suka dan duka cita terlontar dari siswa-siswi SMA 1 Bunga Harapan  yang saat itu sedang sibuk-sibuknya mengerjakan soal ujian nasional.
Bel sekolah pun berbunyi.
            “Waduhh, bel sudah berbunyi lagi? Kesal Wan Abdullah sambil berlari mengejar-ngejar Wak Rais yang sedang menuju tempat parkir.
            “Wak Rais, bagaimana persiapanamu dengan ujian nasional, seminggu lagi loh! Ujar Wan Abdullah sembari menarik napas karena kelelahan berlari.
            “Apa Wan Abdullah? Aku masih santai-santai saja tuh. Soalnya kan sudah jauh-jauh hari berlatih soal-soal UN,” sambil menatap Wan Abdullah dengan sombongnya.
            Tak lama kemudian Wak Rais dan Wan Abdullah berniat untuk mendatangi bimbingan belajar untuk menunjang nilai UN mereka supaya mereka lulus.
            Pagi itu Wan Abdullah datang dengan tergesa-gesa sambil membawa sebuah gundukan yang ada di sebuah kantong plastik.
            “Wan apa yang kamu bawa itu?” ujar Wak Rais sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah gundukan tersebut.
            “Oh, ini, kisi-kisi soal ujian nasional, Wak! Dengan nada agak terkaget Wak Abdullah sambil berjalan menuju kelas XII.
            “Wan, ujian seminggu lagi nih, dengar-dengar pemerintah akan membuat 25 paket yang berbeda-beda!” tutur Wak Rais sambil menyodorkan telepon genggamnya kepada Wan Abdullah yang sedang terhubung dengan internet.
            ‘Iya, Wak. Aku juga sudah baca tentang program menteri pendidikan kita tersebut!” jawab Wak Rais sambil memasang muka penuh beban dengan menggaruk-garuk kepalanya.
            “Wak, apa pemerintah tak berpikir? Kalau dibuat seperti itu akan membuat banyak kerugian!” balas Wan Abdullah dengan muka penasaran.
            “Benar juga sih Wak. Pertama, bisa dipastikan banyak yang tak lulus karena perbedaan paket tersebut. Kemudian yang, kedua, pasti pemerintah sulit mendistribusikan soal-soal ke berbagai daerah terpencil dan ujung-ujungnya soal tak sampai ke sekolah tersebut,”  nada ketus Wan Rais dengan penuh ketegasan dan keberanian.
            “Huuuh! Benar juga ya, Wak. Aku harap sekolah kita mendapatkan soal tepat waktu, ya!” harap Wak Rais dengan penuh percaya diri sambil berjalan menuju kelas XII.
            Seperti biasa hari-hari siswa-siwi SMA 1 Bunga Bangsa hanya di isi dengan mengerjakan soal-soal ujian nasional. Tak terasa bel pulang sekolah pun berbunyi. Sebelum pulang Wan Abdullah ingin berbicara dengan salah satu guru favoritnya mengenai ujian nasional yang tinggal menghitung hari, hampir dekat. Di tengah-tengah perjalanan menuju ruang majelis guru, Wan Abdullah berpapasan dengan Bu Cik Sima. Dengan sigap Wan Abdullah memanggil Bu Cik Sima.
            “Buk! Tunggu, Buk!” teriak Wan Abdullah sambil berlari menuju Bu Cik Sima.
            “Iya, Wan. Ada apa, Wan?” tanya Bu Cik Sima dengan nada penuh penasaran.
            “Jadi begini, Bu. Bagaimana menurut ibu mengenai rencana pemerintah yang ingin memperbanyak paket ujian nasional? Apa imbasnya bagi kami yang melaksanakan, Bu?” tanya Wan Abdullah dengan nada yang datar dan penuh ketenangan.
            “Kalau menurut ibu ya, itu sih bagus. Itu akan membuat kalian mandiri agar mengerjakan ujian dengan sendiri. Tanpa mengharapkan bantuan orang lain,” jawab ibu Cik Sima sambil memegang kepala Wan Abdullah.
            “Lho, Bu. Bukannya itu akan membuat tingkat kelulusan tahun ini akan menurut drastis. Dan, artinya akan banyak penghuni rumah sakit jiwa, Bu?” respon Wan Abdullah dengan penuh statement yang menyakinkan.
            “Iya, benar. Itulah tugas kalian kini untuk lebih giat lagi belajarnya. Agar kalian lulus 100 % tahun ini!” sembari menuju ke parkiran mobil.
            “Sudah dulu ya, Wan. Ibu masih ada kerja ni!” ujar ibu Cik Sima dengan tergesa-gesa.
            “Oh, iya, Bu. Terimakasih ya, Bu informasinya. Dan, hati-hati Bu di jalan!” sambil tersenyum menatap ibu Cik Sima yang sudah pergi jauh.
            Wan pun segera kembali ke rumah dengan membawa sekumpulan soal-soal UN. Sore itu Wan berniat menanyakan mengenai kebijakan pemerintah itu. Sesampainya di rumah dia sudah di sambut dengan ayahnya, Wak Naryo, yang sedang minum kopi di teras rumah. Wan pun menghampiri ayahnya itu.
            “Yah, bagaimana menurut ayah mengenai kebijakan menteri pendidikan kita tentang memperbanyak paket ujian nasional hingga 25 paket?” tanya Wan Abdullah sambil mencicipi gorengan yang tersedia di meja ayahnya.
            “Bagi ayah itu kebijakan yang harus didukung. Karena menurut ayah pasti pemerintah, dalam hal ini menteri pendidikan nasional kita, ingin memperbaiki tingkat pendidikan di negara kita ini. Dengan cara membiasakan hidup jujur, dengan dibuat 25 paket itu, kalian akan sulit untuk berbuat kebohongan,” jawab ayah dengan panjang lebar.
            “Lho, kan kasihan yang tidak memiliki kemampuan lebih, Yah. Bisa dipastikan dia tidak akan lulus UN,” jawab Wan Abdullah terbengong.
            “Iya. Itu sih tanggung sendiri akibatnya. Makanya kita dituntut untuk senantiasa belajar, belajar, dan terus belajar!” jawab ayah sambil meminum sedikit-sedikit kopinya.
            “Oh, iyalah Yah. Intinya Wan harus banyak belajar. Karena ujia tinggal sebentar lagi,” jawab Wan dengan mengalah.
            “Iyalah bagus itu, harus mendapat nilai yang bagus nanti ketika UN, oke!” motivasi ayah sambil menepukkan tangannya ke pundak Wan.
            “Oke, Yah!” jawab Wan dengan singkat karena dia mau membantu ibunya di dapur.
            Tak terasa ujian nasional pun tiba. Tak biasanya pagi-pagi begini siswa-siswi SMA 1  
 Bunga Bangsa telah datang ke sekolah. Ternyata mereka sedang bertransaksi kunci jawaban untuk mata pelajaran hari ini. Hampir pukul 07.30 WIB ujian belum di mulai. Mendadak terdengar pengumuman dari bilik ruangan kelas XII yaitu kelas Wan Abdullah.
            “Bahwa ujian nasional tidak jadi diadakan hari ini. Dikarenakan, soal ujian nasional belum sampai dari Dinas Pendidikan Kecamatan. Kemungkinan akan dilaksanakan hari esok, kamis.”
            Mendengar pengumuman tersebut, serentak isi seluruh kelas keluar. Dengan berbagai perasaan. Mulai dari senang, sedih, hingga ada yang frustasi karena ujian diundur. Wan Abdullah pun selaku ketua OSIS, angkat bicara di tengah-tengah kerumunan siswa-siswi.
            “Ini semua karena kebijakan pemerintah yang tak profesional. Seharusnya pemerintah, menteri pendidikan nasional, memikirkan jauh-jauh hari mengenai pendistribusian soal-soal ke daerah terpencil. Dengan mengingat banyaknya soal yang harus dicetak!” teriak Wan sambil memegang TOA[1] di tangannya
            Akhirnya, siswa-siswi SMA 1 Bunga Bangsa, tidak dapat mengikuti ujian secara serentak se-Indonesia. Mereka terpaksa menunda untuk sementara sampai soal ujian tiba ke sekolah tersebut.  ***

(Cerpen ini terinspirasi dari abruradulnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini dan juga tahun-tahun sebelum-sebelumnya)
           


Keterangan:
[1] Mikropon atau pengeras suara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar